Transparansi Pengelolaan Dana Pendidikan (Bagian 1)
Kalau ada kampanye politikus yang paling tidak saya sukai, itu adalah kampanye sekolah gratis. Bagi saya, ini benar-benar menyesatkan dan memberikan dampak yang sangat buruk dalam dunia pendidikan beberapa tahun terakhir ini.
Saya adalah seorang ibu dari 2 orang anak kelahiran 2007 dan 2010. Saat ini si sulung tengah duduk di kelas XII dan si bungsu di kelas VIII. Alhamdulillah keduanya masih berkesempatan menikmati uang pajak negara dengan bersekolah di SMP dan SMA negeri di Kota Bandung Jawa Barat.
Saat SD, kami masih mampu memilih sekolah swasta. Di tingkat SMP dan SMA karena pertimbangan ekonomi, kami memilih sekolah negeri saja.
Sebenarnya saya tahu kalau pendidikan yang bagus itu membutuhkan dana yang besar. Tidak bisa dipungkiri, fasilitas yang baik tentunya didukung oleh dana yang cukup. Ini dibuktikan dengan sekolah-sekolah favorit adalah sekolah yang memiliki dukungan dana yang memadai. Baik itu sekolah negeri maupun swasta.
Berapa Dana BOS Anak Saya?
Saya rasa kita semua tahu bahwa pemerintah menyalurkan dana BOS - Bantuan Operasional Sekolah untuk setiap siswa per tahun.
Besarannya bervariasi untuk tiap jenjang pendidikan dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) di tiap daerah.
● SD (Sekolah Dasar): Antara Rp 900 ribu hingga Rp 1,96 juta per siswa per tahun.
● SMP (Sekolah Menengah Pertama): Antara Rp 1,1 juta hingga Rp 2,48 juta per siswa per tahun.
● SMA (Sekolah Menengah Atas): Antara Rp 1,5 juta hingga Rp 3,47 juta per siswa per tahun.
Jujur, saya sebenarnya penasaran juga mengenai dana BOS di sekolah anak saya. Susah payah saya mencoba mencari data ini di portal bos.kemendikbud, dan tidak menemukan data yang saya butuhkan.
Eh, malah ketemunya di website jaga.id.
Cukup dengan memasukkan nama sekolah anak, kita jadi bisa melihat data alokasi penerimaan dan penggunaan dana BOS selama 4 tahun anggaran terakhir. Ternyata dana BOS per siswa untuk SMA di kota kami sebesar Rp1.630.000,- per siswa per tahun.
Salah Kaprah Sekolah Gratis
Sebenarnya pembiayaan sekolah khususnya di jenjang SMA sempat berjalan damai-damai saja. Setiap siswa baru akan dimintai uang sumbangan di angka jutaan rupiah. Ditambah uang iuran bulan sebesar ratusan ribu rupiah. Semua orang tua sudah siap mental untuk biaya tersebut.
Hingga tibalah masa dimana sekolah gratis menjadi jualan politik. Tentu saja iming-iming ini sungguh memikat masyarakat. Masyarakat pun percaya bahwa sekolah negeri bisa gratis dengan adanya dana BOS dan BOPD dari pemerintah provinsi.
Jadi wajar kalau orang tua siswa SMAN 3 Bekasi mengadu kepada Gubernur Ridwan Kamil mengenai permintaan uang pangkal Rp4.500.000,- dan iuran sebesar Rp300.000,-/bulan selama 3 tahun sekolah.
Ini artinya sekolah menerima dana Rp15.300.000,-/siswa selama 3 tahun. Padahal sekolah sudah menerima dana BOS sekitar 1,6 juta/siswa/tahun dan BOPD sekitar 1,7juta/siswa/tahun.
Dan dengan tegas Ridwan Kamil melarang hal tersebut dengan mengunggahnya di Instagram pribadinya. Disebutkan bahwa tidak boleh ada pungutan dari pihak sekolah kecuali ada izin resmi dari gubernur.
Itu artinya sekolah gratis untuk tingkat SMA di Jawa Barat. Tidak ada cerita permintaan sumbangan lagi.
Dan apa yang terjadi?
Sekolah kelimpungan mengatur pengelolaan dana mereka. Dari yang sebelumnya memiliki penghasilan sekitar 15 juta per siswa, menjadi nol. Andai saja satu sekolah terdiri dari 300 siswa per angkatan, angka 4,5 milyar pun menguap.
Yang terjadi adalah guru honorer, pegawai non ASN, caraka dan satpam yang penghasilannya berkurang drastis, fasilitas sarana dan prasarana sekolah yang tidak terawat, kegiatan siswa menjadi tidak optimal, dan banyak lagi.
Menurut sekolah, dana BOS dan BOPD masih belum memadai untuk mencukupi kebutuhan sekolah. Dana dari pemerintah hanya memberikan 3,3 juta/siswa/tahun. Sementara kebutuhan sekolah 6 juta/siswa/tahun.
Salahkah ketika sekolah meminta bantuan 2,7juta/siswa/tahun dari orang tua demi anak-anak mereka mendapatkan standar pendidikan yang baik?
Bolehkah Sekolah Meminta Dana Dari Orang Tua?
Setelah viral postingan IG Ridwan Kamil pada 16 November 2022 mengenai larangan penggalangan dana, masyarakat jadi makin bingung. Di satu pihak ingin percaya bahwa sekolah gratis, di lain pihak ingin fasilitas yang baik untuk anak-anak mereka.
Di tengah kebingungan ini, akhirnya terbit juga Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 97 Tahun 2022 yang merevisi Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 44 Tahun 2022 Tentang Komite Sekolah Pada Sekolah Menengah Atas Negeri, Sekolah Menengah Kejuruan Negeri, Dan Sekolah Luar Biasa Negeri. Ini menjadi payung hukum untuk komite sekolah boleh menerima dana dari orang tua.
Jadi tidak ada lagi sekolah gratis ya!
Sebenarnya Pergub No 97 ini cukup rapi mengatur tentang penggalangan dana dari orang tua. Intinya tidak boleh dalam bentuk pungutan yang mengikat nilainya. Hanya boleh dalam bentuk sumbangan sesuai kemampuan orang tua. Dan yang terpenting sebenarnya perlu adanya transparansi dalam pengelolaannya.
Mengapa Sulit Untuk Transparan?
Sayangnya Pergub ini tidak dijalankan dengan semestinya dalam masyarakat.
Sekolah tetap melakukan penggalangan dana, tapi tidak ada transparansi dari pihak sekolah kepada orang tua seperti yang disebutkan dalam Pergub. Pihak sekolah mengkhawatirkan terjadi protes dari berbagai pihak kalau anggaran tersebut disampaikan terbuka.
LOH?
Salah satu contohnya adalah ketika anggaran SMAN 23 Bandung sempat dilaporkan kepada wartawan. Beritanya bisa dibaca di sini.
Saya masih ingat betapa ngakaknya saya saat ramai berita Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menorehkan tulisan “pemahaman nenek lu” di lembar pengajuan pengesahan anggaran dari Bappeda DKI pada Januari 2015.
Siapa yang nggak pengen maki-maki coba, kalau melihat ada anggaran yang mengada-ada dan benar-benar tidak masuk akal.
Posting Komentar untuk "Transparansi Pengelolaan Dana Pendidikan (Bagian 1)"
Posting Komentar