Mungkinkah Kita Berubah?
Kalau diingat-ingat, rasanya hidup saya ini kok ya begini-begini saja. Tidak banyak perubahan yang terjadi.
Perubahan status dari pelajar, mahasiswa, bekerja sebagai arsitek, menikah, punya anak, mengurus anak dari bayi hingga remaja, rasanya berjalan dengan mulus tanpa perubahan yang terlalu signifikan.
Bahkan berat badan saya mentok di segitu-segitu saja selama masa belasan tahun.
Padahal saya itu adalah tipe orang yang selalu ingin berubah. Berubah jadi lebih montok, berubah jadi lebih cantik, berubah jadi lebih kaya, berubah jadi lebih pintar, berubah jadi lebih rajin, berubah jadi lebih sholehah, dan berubah jadi lebih baik lainnya.
Andai saja berubah itu bisa seperti Sailor Moon. Cukup dengan berputar dan satu teriakan, dan Usagi Tsukino pun berubah jadi Sailor Moon yang begitu powerful.
“Moon Prism Power, Make up. Aku Sailor Moon. Dan atas nama bulan, aku akan menghukummu!”
Sulitnya Berubah
Saya dengan segala model planner dan perencanaan, tetap saja sulit sekali untuk bisa berubah. Semua berjalan begitu-begitu saja… Hiks. Still the same old me…
Saya sampai diliputi keraguan, apakah kita benar-benar sesulit itu berubah jika tidak ada campur tangan Tuhan untuk memberikan perubahan signifikan dalam hidup kita? Atau perubahan itu sebenarnya bergantung cara pandang kita saja melihat keadaan sekitar.
Mungkin sebenarnya ada yang berubah, tapi saking mulusnya, jadi tidak terasa apa-apa. Apa umur membuat saya menjadi begitu fleksibel dalam menghadapi hidup? Apa hidup saya memang tidak pernah benar-benar menghadapi tantangan yang memaksa untuk perlu berubah?
Duh Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret ini dengan tema Seni Bertahan Menghadapi Perubahan yang diusulkan Mamah Hani, memang bikin mikir lamaaaa bangettttt.
Jadi wajar ya kalau saya kembali jadi deadliner. Ini juga perubahan yang sulit sekali bisa saya capai.
Ternyata Pernah Bisa Berubah
Sepanjang bulan Maret ini, saya coba mengingat-ingat apakah saya pernah mengalami perubahan yang membuat saya benar-benar perlu bertahan? Masa ia sih hidup saya sedatar itu.
Akhirnya saya coba bongkar-bongkar dokumen rapor SD, SMP, SMA. Dari situ, akhirnya ingatan saya kembali ke masa itu. Saya ternyata pernah juga bisa berubah.
Jadi ceritanya di tahun 1987, pada bulan Oktober kami sekeluarga pindah dari Dompu, sebuah kota kecil di pulau Sumbawa ke tanah Jawa. Tepatnya Karawang, Jawa Barat. Saat itu saya lulus SD dan masuk ke SMP.
Mungkin karena masuknya di bulan Oktober, bukan awal tahun ajaran karena mengikuti jadwal turunnya SK kepindahan Papa ke Kejaksaan Negeri Karawang, saya jadi kagok mengikuti pelajaran sekolah. Ditambah mungkin dipandang aneh juga sama anak-anak lain. Maklum anak kota kecil, tiba-tiba masuk ke lingkungan sekolah yang begitu besar dan ramai. Intinya, saya merasa dibully dan sering digodain.
Yang bikin saya nangis kejer adalah saat pembagian rapor. Saya dapat peringkat 10! Ini aib buat saya. Seumur-umur di SD, peringkat saya antara 2-6 saja. Nggak juara satu juga sih. Tapi ya nggak sampai 10-10 amat.
Saya merasa begitu bodoh, hina, dan nelangsa banget. Lebay sih emang.
Di semester duanya, saya benar-benar serius untuk bisa mengejar ketertinggalan. Belajar dengan lebih serius untuk mencoba menyamai anak-anak di tanah Jawa ini. Tekad saya adalah menendang angka nol di peringkat itu. Jelek banget!
Alhamdulillah, saat pembagian rapor semester 2, saya bisa tersenyum lebar. Saya bisa berubah!
![]() |
Rapor SMP semester 1 dan 2 |
Saya selamat melalui SMP dengan mendapatkan peringkat 2 di semester 3 dan 4, serta peringkat 1 di semester 5 dan 6. Akhirnya bisa lulus dari SMP dengan NEM tertinggi di sekolah.
Saya senang sekali dengan NEM itu bisa masuk ke SMA terbaik di kota Karawang. Serunya, hampir nggak ada teman-teman saya yang bisa tembus ke SMA itu. Jadi ceritanya, saya bisa membuka lembaran baru di SMA.
Ini perubahan kedua yang berhasil saya lakukan. Dari anak yang begitu pemalu dan hampir tidak bisa bersuara di SMP, saya bertekad jadi anak yang aktif di SMA.
Semua ekskul saya ikuti dengan semangat. Dari PMR, Pramuka, Paskibra, sampai Tari menjadi kegiatan saya sepulang sekolah. Pokoknya berusaha jadi orang baru deh. Mulai senang langganan majalah Gadis, Mode, Aneka Yes, Hai. Padahal waktu SMP, saya masih marah besar ketika disuruh berhenti langganan Bobo sama orang tua karena dianggap terlalu anak-anak. Saat itu, saya sampai berucap pengen langganan Bobo sampai dewasa. Lah, baru SMA aja udah lupa sama Bobonya.
Di SMA, saat semester 1 dan 2 saya mentok di peringkat 7 dan 6 saja di kelas. Naasnya kejadian masa SMP kembali terulang di semester 3 SMA. Bahkan lebih parah lagi, saya bukan hanya dapat 1 angka nol di peringkat, malah dapat 2 nol alias 8. Bukan peringkat 8, tapi 18!
Saat itu baru masuk penjurusan Fisika. Sepertinya anak lain memang lebih pintar-pintar. Dan saya memang lagi sibuk-sibuknya dengan berbagai macam ekskul setiap hari, hanya karena pengen aktif itu.
Mulailah saya mencoba berubah dengan memperbaiki cara belajar. Saya banyak ikut belajar kelompok dengan teman yang saya nilai pintar-pintar. Ikut les dengan guru sekolah.
Hasilnya bagaimana?
![]() |
Rapor SMA Semester 3 dan 4 |
Lumayan lah, masuk peringkat 3 di semester ke-4. Rasanya puas sekali. Semangat belajar saya pun kembali. Saya dan beberapa teman juga ikut bimbel ke Jakarta 2x seminggu saat kelas 3 SMA. Saat itu Karawang-Jakarta (Cawang) hanya 30-45 menit saja. Jadi bisa berangkat bimbel sepulang sekolah dan kembali menjelang Isya.
Sebenarnya waktu masuk ITB, saya juga mengalami geger budaya. Dari yang teman cuma segelintir dengan peringkat menengah, tiba-tiba harus di lautan anak-anak pintar se-Indonesia. Ya tenggelam…
Kalau orang lain bilang, nggak masuk ITB nangisnya 4 hari. Tapi kalau masuk ITB nangisnya 4 tahun, karena beratnya perjuangan di ITB. Itu tidak benar-benar berlaku untuk saya.
Setelah diterima di Teknik Arsitektur ITB tahun 1993 melalui jalur UMPTN, tentu saja saya bahagia sekali. Nggak nangis lah. Hanya 2 orang dari SMA saya yang berhasil lolos ITB di tahun itu. Walau begitu bahagianya nggak lama-lama kok. Hanya sampai UTS pertama. Baru deh nangis bombay lagi.
Keulang lagi itu masa-masa merasa paling bodoh di dunia saat SMP dan SMA. Cuma bedanya, kali ini kok susah untuk bisa mengejar ketertinggalan. Stressnya mungkin di semester 1-4 saja lah.
Selanjutnya sudah pasrah dan mengikuti arus saja. Berusaha menikmati apa yang bisa dinikmati. Mensyukuri apa yang bisa disyukuri. Belajar sewajarnya dan mengerjakan tugas-tugas, banyak-banyak berdoa, dan akhirnya bisa wisuda dengan selamat juga pada tahun 1999. Alhamdullillah.
Jadi di umur menjelang 50 tahun ini, saya berkesimpulan bahwa perubahan dalam hidup itu sifatnya cair. Sangat bergantung cara pandang kita terhadap kehidupan. Mana yang perlu diperjuangkan dengan sepenuh tenaga, mana yang perlu diterima saja dengan penuh keikhlasan. Be fleksibel dan tidak kaku dengan takdir Allah. Dan percayalah bahwa pilihan Allah adalah yang terbaik bagi kita.
6 komentar untuk "Mungkinkah Kita Berubah?"
Trus masih ada boleh rapot angka merah plus ada aja anak yang gak naik kelas.
Sekarang emang boleh gak naik kelas?
Satu lagi aku jadi kepingin buka-buka rapot juga nih ...
"masuk ITB susah, keluarnya lebih susah" wkwk
Teh, btw bentukan rapotnya sama kayak punyaku dulu 😅