Belajar dari Ibu Paul Kalanithi, Dedikasi Ibu Demi Pendidikan Terbaik untuk Buah Hati
Apakah teman-teman sudah pernah membaca memoar Dokter Paul Kalanithi, When Breath Becomes Air (Random House, Januari 2016)? Memoar yang masuk sebagai finalist Pulitzer 2017 dan pemenang Goodreads Choice Award 2016 ini mengisahkan perjuangan Dokter Paul Kalanithi dalam menghadapi kanker paru stadium 4 di usia 35 tahun.
Ada bagian menarik dari memoar setebal 224 halaman yang terjemahannya diterbitkan oleh Mizan (2016) ini. Yaitu bagian Paul menceritakan bagaimana peran ibunya dalam pendidikannya dan saudara-saudaranya.
Sebagai latar belakang, mungkin perlu saya ceritakan dulu bahwa Paul Kalanithi ini adalah anak tengah dari 3 bersaudara. Kakaknya Suman, 4 tahun lebih tua dari Paul. Dan adiknya Jeevan, 2 tahun lebih muda dari Paul.
Awalnya mereka tinggal di Westchester County Bronxville, New York. Lalu ayahnya yang seorang dokter jantung memutuskan untuk memboyong keluarganya ke daerah yang lebih hangat di Kingman Arizona. Saat itu ketiga putra Kalanithi berusia 14, 10, dan 8 tahun.
Masalah muncul ketika si Ibu mendapat informasi kalau Kingman adalah distrik paling tidak berpendidikan di Amerika. Bayangkan saja, tingkat putus sekolah di SMA bisa lebih dari 30%. Sedikit saja pelajar yang bisa lolos ke universitas. Dan parahnya tidak ada data anak-anak yang bisa masuk universitas papan atas yang menjadi standar keunggulan si Ayah.
Kalut dong si Ibu.
Paul menuliskan bagaimana ibunya menangis karena khawatir sistem pendidikan yang tidak bermutu ini bisa menghambat kemajuan anak-anaknya.
Jadi sebatas nangis atau ngomel-ngomel aja nih? Saya sih kebayang kalau di Indonesia kemungkinan yang terjadi sebatas si Ibu menulis status di media sosial dengan narasi menyalahkan pemerintah. Eh itu sih saya… ha…ha…
Nah Ibu Paul beda! Entah dari mana, ia menemukan “Daftar bacaan untuk persiapan universitas”. Memang sih ibunya Paul ini seorang sarjana Psikolog dari India. Kedua orang tua Paul kawin lari ke Amerika dari India karena perbedaan agama (ayahnya Kristen dan ibunya Hindu). Dalam usia 23 tahun, ibu Paul menikah dan membesarkan ketiga anaknya di negara asing.
Sejak usia 10 tahun, Paul dan saudara-saudaranya dijejali sejumlah bacaan berkualitas. Buku seperti 1984, The Count of Monte Cristo, Edgar Allan Poe, Robinson Crusoe, Ivanhoe, Hamlet, dan sejenisnya, sukses mengisi otak Paul sejak dini.
Jadi wajar sekali ketika akhirnya Paul bisa membuat essay bermutu untuk bisa diterima di Stanford University double major untuk English Literature dan Human Biology pada tahun 2000.
Paul juga adalah lulusan terbaik di SMA-nya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan masternya di Cambridge, sebelum akhirnya mengikuti jejak ayah dan kakaknya sebagai dokter. Pendidikan dokternya ia tempuh di Yale University.
Cukup dengan menjejali anak-anak buku bermutu saja nih? Ternyata nggak dong.
Ibu Paul juga rela mengantarkan anaknya dengan berkendaraan lebih dari 160 km ke kota besar terdekat, Las Vegas, untuk mengikuti berbagai ujian yang menjadi penilaian universitas. Berbeda dengan di Indonesia di mana calon mahasiswa cukup mengikuti satu ujian saringan masuk UTBK, di Amerika, ada yang namanya ujian PSAT, SAT, dan ACT.
Dan yang buat saya mengagumkan adalah peran Ibu Paul yang bergabung dengan dewan sekolah.
Kebayang saya kalau di Indonesia, orang tua yang bergabung dengan komite sekolah tugasnya lebih banyak ke perpanjangan tangan sekolah untuk ‘menekan’ orang tua lain dalam hal pengumpulan dana. Bukan ke yang lain-lain.
Yang dilakukan ibunya Paul sebagai dewan sekolah adalah menggerakkan guru-guru dan menuntut agar ada kelas Advanced Placement ditambahkan dalam kurikulum.
Kelas Advanced Placement ini memungkinkan siswa SMA di Amerika bisa mengambil dan menyelesaikan beberapa mata kuliah tahun pertama sehingga saat kuliah mereka tidak perlu lagi mengambil mata kuliah tersebut.
Saya suka nih ada yang model begini di Amerika. Bukan malah seperti di Indonesia dimana perguruan tinggi seperti ITB malah perlu mengorbankan 1 tahun untuk memperbaiki dasar Matematika, Fisika, dan Kimia mahasiswanya. Pelajaran yang semestinya sudah mereka kuasai saat SMA.
Kembali ke ibunya Paul yang akhirnya berhasil mengubah sistem sekolah di Kingman. Seorang diri dong!
Ada cerita teman Paul yang berada di posisi kedua (nomor satunya tentu saja Paul dong ya). Karena miskin, walau pintar, oleh guru pembimbing sekolah hanya disarankan untuk daftar jadi tentara saja. Tapi karena melihat Paul yang mengincar Stanford, ia pun jadi berani untuk mendaftar ke Yale. Dan diterima dong!
Perjuangan ibu Paul tidak hanya membuka kesempatan buat anaknya sendiri, tapi juga anak-anak lain untuk meraih kesempatan yang lebih baik. Asli salut banget!
Posting Komentar untuk "Belajar dari Ibu Paul Kalanithi, Dedikasi Ibu Demi Pendidikan Terbaik untuk Buah Hati"
Posting Komentar