Biarkan Anak Bermain ala Mama Axel

 

wawancara mama axel

Demam Ruang Guru Clash of Champions tidak hanya dialami oleh para pelajar dan guru di sekolah-sekolah. Namun para orang tua di rumah juga jadi ikut menikmati keseruan uji kecerdasan ini. 

Hanya dalam 11 episode yang tayang dari 29 Juni hingga 17 Agustus 2024 lalu, para peserta mendadak jadi populer. Bahkan beberapa di antara peserta yang follower Instagramnya tembus angka 1 juta. 

Seneng sih, tiba-tiba anak-anak ‘nerd’ jadi naik pamornya. Anak-anak Indonesia jadi punya semangat belajar dan wawasan mereka jadi terbuka dengan beragam bentuk ujian kecerdasan yang menarik. 

Walau acara serupa telah ada di luar negeri, tapi tetap salut sama Ruang Guru yang mampu mengeksekusi acara sejenis dengan nuansa lokal. 

Melihat anak-anak yang begitu cerdas dengan prestasi akademis tingkat internasional, tentu saja mengundang rasa penasaran banyak orang. Wajar kalau para peserta Clash of Champions ini jadi diundang ke sejumlah acara untuk menceritakan perjalanan hidup mereka. Tidak hanya anaknya, tapi juga orang tuanya yang dikepoin. 

Sebagai salah satu orang tua, buatku sih lebih ingin tahu cerita orang tuanya daripada anaknya. Bagaimana sih gaya mendidik mereka di rumah? 

Apa ia harus seperti Mama Seo Jin dalam drakor Sky Castle yang sibuk mencarikan tutor canggih agar anaknya bisa masuk universitas top? Atau penuh kedisiplinan seperti Mamanya Kang-ho dalam drakor The Good Bad Mother (2023)? Kalau ada yang versi nyata, kenapa tidak langsung cari tahu ceritanya saja kan. 

Salah satu wawancara yang menarik perhatianku adalah wawancara Mama Axel Giovanni Hartanto, Sarwasih. Wawancara bersama Nikita Willy di youtube Nikita Willy official tayang 31 Agustus 2024 lalu ini dengan durasi hampir 1 jam ini, telah ditonton hingga 500 ribu kali (per 3 September 2024). 

Buatku wawancara ini memang worth to watch sih. Nikita cukup tepat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang ingin diketahui oleh para mamah kepo macam diriku. Mamah yang rasanya selalu tidak yakin apakah kita sudah melakukan yang terbaik untuk anak-anak kita atau malah melakukan kesalahan fatal yang tidak kita sadari. Belajar dari mereka yang sudah lebih depan, akan lebih bijak rasanya. 

Sebagai pengantar, Axel ini adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Satu kakak laki-lakinya hanya berbeda usia 1 tahun 2 bulan di atasnya, dan kakak perempuannya yang 6 tahun di atasnya. 

Si Mama ternyata tipe orang tua yang tidak terlalu memusingkan nilai anak-anaknya. Kebetulan mereka bersekolah di sekolah yang rangking anak-anaknya tidak dipublikasikan juga. Jadi selama nilai di atas KKM, si Mama tipe yang santai saja.

Kalau ada yang bertanya apakah Axel memiliki kakak yang pintar-pintar juga seperti keluarga nugget sister Xaviera? Menurut Axel, kakak-kakaknya berbeda minat dengannya. Kakak laki-lakinya lebih suka basket, sementara kakak perempuannya suka bidang IPS. 

Axel sendiri memang usia pra SD sudah menunjukkan minat pada angka. Seperti saat mengantarkan kakak-kakaknya, di mobil ia suka menebak angka di jam digital mobil.

Nah, menurutku disinilah peran ibu selalu mendampingi anaknya pada usia-usia perkembangan. Ibu yang bisa mindful saat bersama anak mereka pada usia ini, akan lebih peka untuk melihat minat dan kelebihan anaknya. 

Berdasarkan pengalamanku, ketika orang lain yang memegang anak kita pada masa-masa ini, bukan tidak mungkin yang ditangkap malah anak kita nakal dan mengganggu. Kan sayang sekali kalau bakat berharga anak-anak tidak kita kenali sendiri sejak dini. 

bermain untuk kecerdasan anak

Pengorbanan untuk Minat Anak

Sebenarnya bakat Axel dalam Matematika sudah bisa diprediksi sejak awal SD. Mamanya Axel sempat dipanggil guru dan disampaikan bahwa Axel ini berbakat dan sebaiknya diberi tambahan les khusus untuk olimpiade.

Saat itu Mama Axel hanya bisa menjawab: “Pak, anak saya itu tiga. Kalau Axel harus les ratusan ribu sebulan, nanti kami tidak makan.” 

Dari jawaban ini, bisa ditebak lah ya tingkat ekonomi keluarga ini. Ini yang membuat Mama Axel tidak sepakat ketika dibilang anak yang pintar-pintar itu hanya karena anak orang kaya saja. 

Ketika kelas 4, tanpa les Axel bisa lolos olimpiade hingga 20 besar nasional dan diundang ke Jakarta untuk proses seleksi. Melihat anaknya bersama anak-anak lain dan mungkin juga setelah bertemu dengan banyak orang yang anaknya pintar-pintar, baru di sana mata Mama Axel terbuka akan pentingnya persiapan khusus olimpiade itu.

"Anak punya potensi, kok tidak difasilitasi." - Sarwasih

Maka diaturlah kembali prioritas keuangan keluarga, sehingga Axel bisa les khusus di Semarang selama seminggu penuh. Bahkan ada juga yang rutin setiap Sabtu-Minggu. Mereka sampai perlu menginap di hotel segala demi les itu.

Mereka bukan keluarga kaya, tapi mereka pada akhirnya tahu dimana harus meletakkan prioritas ya. Axel fokus untuk menekuni olimpiade matematika demi mendapatkan beasiswa untuk bisa mendapatkan pendidikan terbaik. Beasiswa penuh yang membawanya ke NUS.

Apakah Axel selalu menang olimpiade? Ternyata ya tidak semudah itu. Axel sering kali kalah dulu. Dan ia menangis setiap kalah. Baru pada tahun berikutnya ia bisa menang. Kekalahan ini ia alami beberapa kali di tingkat SD, SMP, hingga SMA. 

Jadi jangan dikira sudah les mahal, pasti mulus menang ya. Tidak semudah itu ternyata. 

youtube nikita willy

Mainan untuk Kecerdasan Otak

Hal menarik lain yang aku pelajari dari Mama Axel adalah urusan memberikan kesempatan bermain untuk anaknya. Aku pun sepakat kalau bermain itu sangat baik untuk perkembangan otak anak. 

Saat anak bahagia, itulah yang membuat otak anak-anak berkembang menjadi sehat dan cerdas. Membelikan anak mainan bukanlah hal yang sia-sia. Tidak harus dibatasi dengan mainan edukatif yang belum tentu disukai anak ya, tapi segala model mainan yang benar-benar membuat anak menikmati memainkannya.

Bahkan kadang bisa jadi mainan yang bukan mainan. Seperti perkakas rumah tangga, atau mainan yang memang merupakan kreasi dan dibuat sendiri. 

Tinggal mamanya saja yang sabar soal merapikan mainan pada tempatnya ya. Jangan malah marah-marah. Bubar deh ntar syaraf-syaraf halus yang sudah tersambung karena satu bentakan kemarahan si mama akibat melihat mainan yang berantakan. 

Setiap orang tua pasti punya gayanya masing-masing dalam mendampingi anak-anak menjadi versi terbaik mereka. Setiap anak mungkin bahkan harus didampingi dengan cara yang berbeda. Ada yang harus dilepas mandiri dan diberi tanggung jawab, atau ada yang lebih suka diberi panduan yang lebih jelas. 

Kita bisa menambah wawasan kita dengan belajar dari gaya parenting orang lain. Tapi ya tentu saja tidak pasti bisa diterapkan ke anak kita begitu saja. 

Semoga kita bisa jadi orang tua yang cerdas dan bijak dalam mendampingi anak-anak ya. Makasih buat Axel dan mamanya yang sudah mau berbagi. Buat yang belum nonton, langsung saja ya main ke Youtube-nya Nikita Willy Official. 


Shanty Dewi Arifin
Shanty Dewi Arifin Mama yang sedang semangat belajar menulis demi bisa bayar zakat sendiri.

Posting Komentar untuk "Biarkan Anak Bermain ala Mama Axel"