Ketika Memaafkan adalah Sebuah Karunia
Hari itu Paskah di Katedral Sevilla. Laksamana Avila berlutut di balik pagar komuni, dengan hati yang penuh syukur. Setelah selama ini bertugas di lautan, kini ia diberkahi keluarga yang sangat dicintainya. Istrinya Maria yang tengah hamil tetap duduk di bangku gereja bersama Pepe, putranya yang berusia 3 tahun.
Pepe melambai tangan dengan riang kepada ayahnya. Avila mengedipkan sebelah matanya kepada bocah itu, dan Maria tersenyum hangat kepada suaminya.
Dalam sekejap, satu kilatan cahaya memekakkan telinga dan seluruh dunia Avila meledak. Istri dan anaknya tewas dalam penyerangan gereja tersebut. Sejak itu, dunia Avila runtuh dan membuatnya dipenuhi kemarahan.
Biarawati membimbingnya untuk memberikan pengampunan sebagai satu-satunya jalan keselamatan agar ia bisa bangkit dari kesedihannya.
Avila didoktrin untuk tidak melawan orang yang berbuat jahat kepadanya. Jika ditampar pipi kanan, berikan pipi kirimu. Kasihilah musuhmu, berbuat baik kepada orang yang membenci kamu, mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu, berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.
Maafkanlah!
Hal yang tidak mungkin bisa dilakukan Avila setelah apa yang menimpa keluarganya. Avila memilih untuk membalas dendamnya dengan membunuh pihak yang ia yakini telah bertanggung-jawab atas kematian keluarganya. Walau itu semua harus dibayar dengan nyawanya sendiri.
Bagi Avila, ada banyak jalan menuju keselamatan. Dan pemaafan bukan satu-satunya jalan.
Ini adalah bagian kisah dari novel Origin karya Dan Brown (2017). Dalam novel ini, diceritakan bagaimana memaafkan itu tidak selalu mudah untuk bisa dilakukan.
Agama hanya mengajarkan kita mengenai betapa mulianya kegiatan memaafkan itu. Sayangnya tidak banyak yang mengajarkan caranya. Memaafkan tidak mudah dilakukan untuk banyak kasus kehidupan.
Dari Mereka yang Bisa Menyalurkan Kemarahan
Masih dari novel yang sama, Dan Brown mengangkat karakter lain yang hidupnya juga dipenuhi kemarahan namun mampu menyalurkannya dalam hal lain.
Dialah Edmond Kirsch, si tokoh cerita. Edmond lahir sebagai anak di luar nikah dari seorang perempuan Katolik Spanyol. Di usia ke-19 ibunya yang juga ilmuwan komputer jatuh hati dengan seorang dosen dari Chicago yang tengah liburan di Spanyol.
Sebagai anggota komunitas Katolik yang taat, Ibunya mendapatkan tekanan luar biasa terutama sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan. Mereka menganggapnya itu adalah hukuman Tuhan.
Saking merasa berdosanya, pada usia 5 tahun Ibu Edmond memutuskan untuk menitipkan Edmond ke Panti Asuhan dan memilih masuk biara sebagai penebusan dosa. Pada usia 10 tahun, Edmond mendengar kabar bahwa ibunya memilih gantung diri karena tidak sanggup dengan penderitaan fisik yang ia alami.
Sejak itu Edmond sangat dendam dengan gereja, yang ia anggap bertanggung-jawab atas penderitaan ibu dan dirinya.
Walau begitu, ia tidak mengeluhkan kesusahannya tersebut. Ia bahkan menganggap dirinya beruntung mengenal kesulitan sejak dini, karena kesulitan itulah yang mendorongnya meraih cita-cita masa kecilnya.
Pertama, untuk terbebas dari kemiskinan. Dan kedua adalah mengungkapkan kemunafikan agama yang menurutnya merusak ibunya.
Di usianya yang ke-33, Edmond Kirsch dikenal sebagai seorang tokoh kontroversial terkenal sedunia. Ia adalah seorang miliuner yang juga ilmuwan komputer, futuris, inventor, dan pengusaha. Ia berhasil menjadikan kemarahannya sebagai bahan bakar mencapai cita-citanya.
Kemarahan bisa jadi tidak bisa semudah itu kita lenyapkan. Namun ternyata ia bisa diarahkan ke hal yang lebih positif. Menjadi motivasi yang kuat untuk bisa mencapai apa yang benar-benar diinginkan dalam hidup seperti Edmond.
Jangan sampai kemarahan kita malah dimanfaatkan oleh pihak jahat yang pada akhirnya malah merugikan diri kita sendiri, seperti yang terjadi pada Laksamana Avila.
Dari Mereka yang Memilih untuk Memaafkan
Belajar untuk bisa ikhlas memaafkan juga saya pelajari dari tokoh Oshin. Sebuah serial Jepang yang aslinya ditayangkan di NHK Jepang pada 1983-1984.
Dalam serial 297 episode ini, kita bisa belajar bagaimana Oshin menerima berbagai macam perlakuan orang-orang di sekitarnya, dan masih tetap bisa berjiwa pemaaf.
Perlakuan tidak adil diterima Oshin dari ayahnya, teman serumahnya, rekan kerjanya, kakaknya, mertuanya, suaminya, bahkan hingga menantu dan anaknya.
Salah satu yang paling saya ingat adalah ketika kakak laki-laki dan iparnya begitu pelit memberikan jatah makan. Padahal sebenarnya rumah kakaknya merupakan jerih payah Oshin sebagai penata rambut di Tokyo. Oshin berhak atas rumah tersebut.
Namun Oshin mencoba mengerti beban kakaknya yang selalu hidup dalam kemiskinan dan harus bertanggung-jawab terhadap keluarganya. Kakaknya nggak punya kesempatan untuk hidup bebas seperti dirinya.
Pemahaman itu mengantarkan Oshin untuk malah meminta maaf kepada kakaknya sehingga bisa kembali memiliki hubungan yang baik dengan kakak dan iparnya.
Ternyata inilah curahan hati Oshin yang melatarbelakangi sikapnya tersebut.
“Jika kau membenci atau menyimpan dendam terhadap seseorang, kaulah yang merasakan sakit. Sebelum membenci seseorang, kau harus memikirkan POSISI orang tersebut dan MEMAAFKAN.”
Dan memang itu prinsip hidup yang sakti. Oshin tidak pernah kekurangan orang-orang yang mencintai dan membantu hidupnya. Walau hidupnya berat, ia tetap bisa menjalani hidup dan menikmati setiap prosesnya dengan baik.
Maaf dalam Islam
Ada salah satu potongan ceramah Ustadz Abdul Somad yang bikin saya tersenyum. Mengenai seorang ibu yang bertanya apakah ia berdosa kalau ia tidak bisa memaafkan suaminya yang berzina dengan orang lain?
Jawabannya cukup menohok dan tidak saya sangka-sangka. Disampaikan bahwa orang yang berzina itu hukumannya dirajam. Jika sudah menikah, bahkan dirajam sampai mati. Adalah bukan tempatnya lagi untuk bertanya mengenai dosa tidaknya kita bisa memaafkan atau tidak.
Lah dia yang berzina, kenapa jadi kita yang berdosa karena tidak bisa memaafkan!
Ok, itu menjelaskan banyak hal ya BuIbu.
Dalam Al Quran kita juga mengenal yang namanya Qisas untuk hal yang berhubungan dengan pembunuhan. Dimana bisa dibayar dengan nyawa, denda, dan tentu saja yang terbaik adalah pemaafan.
Kemampuan Memberi Maaf adalah Sebuah Karunia
Akhir kata, saya ingin menutup tulisan ini dengan mengakui bahwa memberi maaf bukanlah hal yang mudah. Namun harus kita sadari juga bahwa memberi maaf pada dasarnya adalah lebih untuk kedamaian diri sendiri daripada untuk mereka yang menzalimi kita.
Setiap kita berhak untuk hidup damai dengan hati yang lapang dan ikhlas. Bisa tidur malam dengan tenang tanpa perasaan marah. Bisa tersenyum dengan lepas. Bisa merasakan hangatnya karunia Ilahi yang menyinari hidup kita setiap saat.
Masa lalu yang penuh penderitaan dan ketidakadilan bukan tidak mungkin rahasia Tuhan agar kita bisa menikmati hidup saat ini dan masa depan yang mungkin jauh lebih baik.
Bahwa kemarahan tanpa arah tidak akan pernah membawa kita kemana-mana. Kecuali semakin menelan kita dalam lubang yang semakin dalam. Jangan sampai hidup kita berakhir sia-sia hanya dalam kemarahan.
Sudah saatnya, kita berlatih untuk bisa bersyukur dan memaafkan. Percaya bahwa Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya yang berusaha.
(1000 kata)
1 komentar untuk "Ketika Memaafkan adalah Sebuah Karunia"
Akhirnya pelan2 berusaha utk memaafkan, semua yg udh dia buat, tapi bukan berarti melupakan yaa. At least aku udah ga mau ada perasaan benci. Coba cari positifnya malah, seandainya kejadian itu ga terjadi, mungkin hidupku masih menderita Ama dia. Mendingan seperti ini, bisa lepas dan akhirnya ketemu yg lebih baik.
Cara2 yg bisa bikin hati kita adem, semuanya aku coba waktu itu.
Dan memang, setelah bisa memaafkan hidup JD LBH tenang. Lebih fokus ngelakuin lainnya