Salahkah Memilih Childfree?
Pagi ini saya lihat beberapa status teman-teman mengomentari Gita Savitri yang menyebutkan mengenai pilihannya untuk childfree. Ia juga menambahkan kalau hidup tanpa anak adalah anti aging alami karena jadi bisa cukup tidur dan tidak stress ngurusin anak. Plus kalau perlu perawatan kulit, uangnya ada.
Saya sih sejujurnya biasa saja dengan pendapat gadis kelahiran 27 Juli 1992 ini. Saya bisa melihat dan memahami kalau childfree itu sebuah pilihan yang memang perlu dihormati.
Saya sendiri berusia 47 tahun. Punya sepasang anak usia 15 dan 12 tahun. Tidak punya karir. Keuangan pas-pasan mengandalkan suami. Dan Tidak pintar merawat kulit juga.
Apakah saya menyesal dan tidak bisa menikmati hidup saya?
Siapa yang nggak bahagia dapat dua makhluk seperti ini. |
Tentu saja tidak. Saya bahkan menilai kebahagiaan terbesar dan kesuksesan terbaik dalam hidup adalah anak-anak dan kebersamaan kami sebagai keluarga.
Tidak pernah sekali pun saya pernah menyesali keputusan untuk punya anak dan memilih untuk meninggalkan profesi arsitek yang sempat saya tekuni selama 7 tahun. Karena apa yang saya dapatkan sangat memuaskan dan saya nggak mau menukarnya dengan apa pun.
Pasti Gita Savitri tidak tahu enaknya bobo siang sambil memeluk anak-anak yang manis dan wangi. Ngelihat lucu-lucunya tingkah dan komentar mereka.
Bukannya capek? Kurang tidur? Banyak biaya yang harus keluar? Nggak bisa melakukan hobi?
Ehm… tapi gimana ya, tantangan-tantangan kecil seperti itu malah bikin manisnya hidup semakin terasa.
Menurut saya, ini semua mungkin memang mengakar dari pemikiran saya yang easy going. Saya merasa tidak terlalu cerdas untuk berpikir rumit-rumit mengenai bagaimana membesarkan anak, bagaimana biaya sekolahnya, bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Nggak, saya nggak banyak berpikir seperti itu. Saya cenderung menikmati setiap karunia yang Allah berikan hari ini.
Diberikan sama Allah jodoh yang baik, Alhamdulillah.
Dipercaya sama Allah punya anak, double Alhamdulillah.
Dikasih keringan dan kemudahan bisa mengasuh mereka hingga kini, triple Alhamdulillah.
Apakah ada yang hilang dari hidup saya karena punya anak? Saya rasa nggak ada ya. Karena saya nggak kepikiran mau menukar anak-anak saya dengan apa pun.
Tapi kalau ada orang yang memilih untuk childfree, saya bisa menghormatinya. Ada banyak pertimbangan yang mendasari orang memilih untuk hidup tanpa anak.
Belajar dari buku Childfree & Happy
Salah satu yang saya nilai sangat bagus adalah pendapat Victoria M Tunggono yang menulis buku Childfree & Happy, Keputusan Sadar untuk Hidup Bebas Anak (EA Books, 2021). Semua bermula dari unggahannya di Instagram pada 28 April 2020 yang kemudian di share ke Facebook. Baru viralnya beberapa bulan kemudian. Jauh sebelum diangkat oleh Gita Savitri ini.
Dalam buku yang sempat saya baca cuplikannya di Google Books, penulis menuliskan pengalamannya bagaimana ia sampai pada keputusan untuk memilih hidup tanpa anak dari usia 14 tahun. Diceritakan juga bagaimana ia sempat beberapa kali jatuh cinta, tapi memilih putus karena pasangannya ingin punya anak.
Ternyata Victoria tidak punya trauma apa-apa juga sih. Ia juga suka kok sama anak-anak dan bisa dekat dengan anak-anak. Asal jangan punya anak sendiri saja.
Saya suka sekali buku yang ebooknya seharga Rp 56.610,- saja ini. Karena membantu memberikan wawasan untuk memahami mereka yang memilih pemikiran ini. Buku ini sebenarnya ditulis bukan untuk mengkampanyekan childfree ya. Tapi lebih untuk membuka wawasan orang lain memahami pilihan pemikiran mereka.
Bahwa memang ada orang-orang yang secara sadar tidak ingin punya anak. Tori, nama kecil Victoria, sudah secara sadar punya keinginan untuk childfree sejak usia 14 tahun. Karena ia melihat bagaimana Tantenya yang bisa tetap berarti hidupnya walau tanpa anak. Ditambah ia sempat punya hubungan yang buruk dengan ibunya.
Memaksakan orang-orang seperti ini untuk tunduk dengan norma masyarakat umum menurut saya malah hanya akan menambah masalah. Mungkin ini juga yang memberikan kontribusi pada banyaknya kekerasan pada anak dan masalah rumah tangga. Orang yang sudah tidak yakin, tapi terus dipaksa!
My adorable babies... |
Dalam buku tersebut dibahas juga bagaimana menghadapi sejumlah komentar klasik orang-orang terhadap mereka yang memilih childfree ini.
“Itu namanya egois!”
“Siapa yang akan mengurusmu nanti kalau sudah tua?”
“Punya anak itu menyenangkan loh.”
“Anak itu punya rezekinya masing-masing.”
“Kalau semua orang berpikir childfree, peradaban manusia akan punah.”
“Siapa yang akan mendoakan jenazahmu nanti?”
Dan banyak lagi. Tori benar-benar membahasnya dengan lengkap mengenai masalah ini. Baca daftar isinya saja, saya tahu buku ini cukup bagus.
Terus terang saya cukup sepakat dengan pendapat Tori. Saya mengerti pilihannya. Dan saya bisa menghormatinya.
Sebagai tambahan, saya punya Tante yang juga tidak menikah. Walau tidak punya keturunan, saya tidak pernah lupa untuk selalu mendoakan almarhum Tante saya ini dalam setiap sholat. Sama statusnya seperti orang tua saya. Jadi kalau dibilang kalau tidak punya anak, tidak ada yang akan mendoakan, itu saya rasa berlebihan. Selama hidupmu baik, Insya Allah akan banyak orang yang mendoakanmu. Insya Allah amalan baik akan terus mengalir bagi mereka.
Setiap orang berhak untuk memilih apa yang membuatnya bahagia. Apakah itu pilihan berkeluarga dan punya anak seperti saya, atau memilih untuk childfree seperti Gita Savitri dan Victoria. Termasuk juga untuk menerima apa pun yang Allah berikan walau tidak sesuai dengan pilihan kita dengan penuh rasa syukur.
I love you Kiddos |
2 komentar untuk "Salahkah Memilih Childfree?"
Kadang, suka heran jg sama netizen yg malah tersulut emosi gegara Gitasav ini sampe jd trending topic di beberapa sosmed😅