Apakah Menulis Cukup untuk Melepaskan Kemarahan?
Walau sempat pening membacanya, status Facebook Heni Novitasari yang sempat viral, menarik untuk dijadikan bahan renungan.
Dalam status Facebooknya, Heni mengungkapkan kemarahan kepada mantan suaminya Dahnil Anzar. Mungkin familiar ya dengan nama ini. Beliau adalah juru bicara Pak Prabowo dan juga Ketua PP Muhammadiyah 2014-2018. Sempat menikah selama 17 tahun, Dahnil dan Heni bercerai 3 tahun lalu. Ke-4 anak mereka ikut dengan ayahnya. Baru 27 Januari kemarin, Dahnil menikah dengan seorang dokter kecantikan. Dibuat cepat aja ya latar belakangnya biar nggak bosen.
Entah bagaimana ceritanya, pada 20 Februari 2023, di status Facebooknya Heni mengungkapkan kemarahan yang luar biasa dalam 1800 kata yang penuh typo dan singkatan. Itu sepertinya kalau ditulis dengan benar, bisa sampai 2500 kata!
Tulisan itu langsung viral dan dikutip di sejumlah media online. Jadi mau status itu besok dihapus pun, catatan kemarahan ini akan terekam abadi selamanya. Luar biasa!
Saya bisa merasakan emosi yang ada dalam dada penulis saat menuliskan tulisan tersebut. Kita yang baca juga bahkan bisa ikut empati dengan Heni yang sudah merasa tersiksa sejak awal pernikahan, masa-masa kehamilan pertama, hingga 17 tahun pernikahan.
Kita jadi ikut merasa betapa beratnya punya suami sepemalas dan setidak perhatian itu. Walau tentu saja kita - para netizen yang selalu maha benar dengan segala firmannya ini - tidaklah benar-benar tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Kita perlu dengar both side of story. Bahkan mungkin versi ke-4 anak mereka.
Lah tapi ntar jadi kaya penonton disodorin sinetron Indosiar nih.
Sebagai anak KLIPers yang biasa menulis curhatan setiap hari - entah itu marah, uneg-uneg, laporan harian, mimpi, atau sekedar ide random yang lewat, sepakat kalau menulis itu bisa sangat melegakan.
Apa yang dilakukan oleh Heni itu memang bisa sangat melegakan. Namun mungkin yang membedakannya adalah masalah siapa yang akan membaca tulisan tersebut.
Ketika kita menulis untuk sendiri, kita selalu bisa mengontrol apa yang akan terjadi. Berbeda dengan ketika tulisan tersebut dibuat bisa dibaca oleh semua orang. Efeknya menjadi sangat tidak bisa terduga.
Ada yang berbeda dari cara menulis Heni dengan Mommy ASF saat menulis curhatan Layangan Putus. Mommy ASF juga menuliskan kekecewaannya kepada suaminya yang selingkuh. Emosional juga, tapi terasa lebih sudah terpoles.
Saya menduga Mommy ASF lebih sering menulis dibandingkan Heni.
Menulis tangan lebih efektif untuk melepas emosi dibanding menulis digital. |
Tulisan seperti yang dibuat Heni kalau menurut saya adalah contoh free writing yang sebenarnya. Keluarkan semuanya dengan cepat. Itu sudah benar.
Hanya saja mungkin lebih baik untuk tidak dipublish terlebih dulu. Terus saja menulis-menulis-dan menulis.
Sampai pikiran bisa lebih jernih dalam melihat masalah.
Sampai bisa berpikir apakah tulisan seperti ini cukup pantas untuk dipublish dan dibaca semua orang.
Sampai bisa membayangkan dampaknya kepada anak-anak dan juga orang-orang di sekitar keluarga. Tentu saja maksud kemarahan ini adalah ditujukan ke si bapak. Berharap aib si bapak terbuka dan si ibu mendapat dukungan dari pembaca.
Tapi apakah itu yang terjadi?
Walau kolom komentar sudah dibatasi, tetap saja ada komentar yang kemungkinan besar tidak diharapkan si penulis. Komentar yang memojokkan atau bahkan menyalahkan si penulis. Bahkan menuduh penulis sebagai orang yang bodoh dan mau disiksa bertahun-tahun seperti itu.
Duh… bagaimana mau jadi lega kalau baca komentar seperti itu kan.
Hal-hal seperti itu yang membuat kita perlu berpikir dua kali untuk membagikan tulisan yang sifatnya emosional dan berhubungan dengan orang lain.
Kalau buat saya, untuk melepaskan emosi sebaiknya tulisan tidak untuk dipublish terlebih dahulu.
Tujuan menulisnya bukan untuk menjatuhkan orang lain. Tapi untuk menyelesaikan masalah emosional kita sendiri terlebih dahulu.
“Saya akan lega kalau dia hancur!”
Mungkin ini dorongan yang paling mendasar pada orang yang marah. Walau yang terjadi adalah keduanya hancur. Atau bahkan bisa lebih parah, si penulis yang hancur dan orang yang diceritakan malah dapat dukungan.
Ini pernah saya baca di status seorang suami yang mengeluhkan istrinya yang ia sebut sebagai pemalas dan bukan istri yang baik. Padahal sebenarnya yang ngaco si suami ini.
Ah…. orang memang ada-ada saja ya.
Jadikanlah kegiatan menulis sebagai healing untuk menyelami diri sendiri. Untuk membantu mengambil keputusan terbaik. Untuk memberikan ketenangan jiwa. Menulis untuk publikasi adalah perkara yang berbeda. Mudah-mudahan kita bisa membedakannya
Posting Komentar untuk "Apakah Menulis Cukup untuk Melepaskan Kemarahan?"
Posting Komentar