Belajar Dari Kasus Livi Zheng
Minggu ini ada sebuah kasus yang cukup menarik perhatian saya. Pemberitaan mengenai Livi Zheng, seorang sineas muda yang dinilai mendapatkan apresiasi yang tidak sesuai dengan kualitas karyanya.
Semua bermula dari tulisan ‘kaleng’ di sebuah portal yang mengumbar keanehan publikasi karya-karya Livi Zheng. Livi Zheng yang sebelumnya ramai diberitakan sebagai sineas muda yang berhasil menembus Hollywood, ternyata sebenarnya hanyalah sebuah produk publikasi yang luar biasa. Aslinya, karyanya nol besar.
Masa sih segitunya? Orang sirik aja mungkin itu.
Padahal kan Livi sudah di-endorse oleh para pejabat penting seperti JK, Tito Karnavian, Luhut Panjaitan, dan lain-lain. Banyak media memberitakan kehebatan Livi. Masa iya sih kita semua tertipu oleh silaunya publikasi yang bisa dibeli dengan uang?
Walau sudah membaca sejumlah liputan mengenai Livi di media dan juga membaca tanggapannya terhadap berita tersebut, malam ini saya tetap semangat menonton Livi hadir di acara Q&A Andini Effendi di Metro TV.
Dalam acara itu, Livi siap dibantai oleh sejumlah pembicara lain seperti Joko Anwar, sutradara sejumlah film yang sering mendapat penghargaan.
Jadi ya, Livi itu keukeuh kalau dia memang sineas yang baik. Dia merasa wajar kalau karyanya dikritik orang. Bagaimana pun dia merasa cukup bangga dengan pencapaian selama ini. Padahal orang-orang bingung dan mulai menertawakan karyanya.
Ini yang menurut saya unik. Sekaligus mengerikan.
Bagaimana caranya kita bisa menerima penilaian yang jujur terhadap karya-karya kita?
Bagaimana kita bisa membedakan seorang haters yang menilai tanpa dasar, atau seorang kritikus dengan jam terbang tinggi?
Siapa yang berhak menilai karya kita bagus atau jelek?
Siapa yang perlu kita percaya untuk menilai karya kita?
Saya terbayang kalau saya berada dalam posisi Livi. Tapi dalam posisi sebagai penulis. Apakah tulisan saya bagus atau jelek?
Bolehkah saya bilang tulisan saya bagus karena saya pernah mengikuti sejumlah lomba menulis bergengsi? Hanya ikut ya. Yang semua orang bisa. Tapi tidak menang loh.
Bolehkah saya bilang tulisan saya disukai banyak orang karena terbukti dibaca banyak orang yang sebenarnya saya dapatkan dengan cara memaksa orang lain membaca tulisan saya karena balas budi blogwalking atau bahkan saya membayar mereka?
Kasus seperti Livi ini mengingatkan saya pada cerita Florence Foster Jenkins. Saking uniknya, kisah Florence ini sampai difilmkan. Florence adalah sosialita yang sangat ingin dikenal orang karena suaranya bagus.
Padahal aslinya suaranya jelek banget.
Namun, orang-orang di sekitar Florence - khususnya suaminya, memberikan semua yang diinginkan Florence. Mereka bahkan membeli penonton palsu dan membayar review bagus di media untuk membentuk citra Florence sebagai penyanyi bersuara bagus.
Florence bahagia. Tapi orang-orang tertawa terbahak-bahak.
Saya menduga, ada orang-orang yang seperti suami Florence di belakang seorang Livi Zheng. Orang yang sangat serius ingin mewujudkan impian Livi dikenal sebagai sineas yang berhasil.
Padahal kita bisa ternganga melihat karyanya yang ada di bioskop. Bagaimana mungkin kita akan menghabiskan waktu di bioskop untuk menonton film pembuatan video klip yang sangat tidak menarik?
Pengen ketawa tapi takut dosa. Akhirnya hanya bisa memaki.
But everything happen must be for a reason. Pasti ada alasannya kenapa harus ada seorang Livi atau seorang Florence.
Bisa jadi mereka ada untuk membuka mata kita semua. Kalau kita benar-benar menginginkan sesuatu terjadi, hal itu memang bisa saja terwujud. Namun dalam ilusi yang hanya ada di kepala kita. Sayangnya hal itu tidak sama dengan yang dilihat orang lain…
Semoga kita tidak perlu mengalami hal tersebut.
1 komentar untuk "Belajar Dari Kasus Livi Zheng"