5 Manfaat Menulis Diary yang Saya Rasakan
Apa teman-teman punya buku diary yang selalu rutin ditulis setiap hari?
Iya, sebuah buku yang dengan tulisan tangan mengenai perasaan kita pada hari tertentu.
Waktu saya SMP, saya ingat punya buku diary yang ada kuncinya. Saya takut sekali kalau diary saya terbaca oleh orang lain.
Dan ternyata, memang diary saya terbaca sama mama. Duh, sejak itu saya agak malas menulis diary.
Kalau diary kita terbaca oleh orang lain, rasanya seperti telanjang. Marahnya kita, kesalnya kita, mimpi kita yang ajaib-ajaib, semuanya ada di sana. Hal ini membuat saya malas punya diary sampai akhirnya kuliah di Bandung.
Apa diary itu hanya untuk perempuan?
Nggak banget lah. Saya tahu banyak penulis besar laki-laki yang menyimpan buku diary.
Eh tapi kalau baca Diary of Wimpy Kid-nya Jeff Kinney, disitu diceritakan kalau si Greg Heffley sebenarnya sudah meminta ibunya untuk jangan membeli buku yang ada tulisan diary di sampulnya. Karena ia tidak akan menulis buku diary, melainkan JURNAL.
Ternyata anak laki-laki yang ini malu kalau ketahuan menulis diary oleh teman-temannya. Jadi ia menyebutnya sebagai jurnal.
Hampir semua penulis terkenal punya kebiasaan untuk menulis jurnal harian.
Ahmad Fuadi pernah menyebutkan kalau jurnalnya jika ditumpuk bisa 1 meter. Agustinus Wibowo, penulis buku perjalanan Titik Nol, bercerita kalau ia menyalin ulang semua jurnal tulisan tangannya dalam bentuk file elektronik. Asli niat banget ya!
Saya sendiri setelah sempat kehilangan semangat menulis diary karena terbaca orang lain, mulai lagi mencurahkan isi hati ke dalam catatan harian sejak hidup terpisah dari orang tua. Tahun 1993 saya kos sendiri di Bandung. Di situ saya mulai lagi menulis diary.
Hingga saat ini diarynya masih ada. Duh, isinya parah sekali kalau saya buka-buka. Betapa kekanak-kanakannya saya di 25 tahun yang lalu. Masa saya pernah menulis ingin bunuh diri karena nilai saya jelek di kampus. Recehnya masalah hidupku di masa itu…
Sejak berkembangnya sosial media, diary menjadi lebih terbuka. Tidak ada lagi tuh diary yang digembok dan bikin orang bete karena ketahuan isinya.
Status di sosial media atau curhatan di blog dengan entengnya ditulis orang-orang untuk bisa dibaca banyak orang. Semakin banyak yang baca, semakin senang yang punya diary.
Sekarang diary memang bukan untuk sekedar curahan hati yang tidak boleh dibaca orang lain, tapi ternyata punya nilai tambah seperti mengungkapkan fakta sejarah (Diary of Anne Frank) atau untuk hiburan (Diary of Wimpy Kid, diary-nya Raditya Dika, curahan hati dalam My Stupid Boss).
Banyak diary yang memang tujuannya untuk dipublikasikan. Kalau menurut saya, ada syaratnya buat diary yang ingin dipublikasikan.
Pertama, tulisan itu memberikan manfaat buat pembacanya. Bukan sekedar curhatan alay yang dilakukan sejuta umat tanpa ada solusi yang bisa jadi inspirasi.
Kedua, punya nilai hiburan yang bisa menggugah emosi pembaca. Apakah itu kocak, sedih, atau malah menakutkan.
Jadi ya, nggak semua catatan pribadi perlu dipublikasikan dalam bentuk buku juga ya. Ini kalau memang ingin bukunya laku dan dibaca banyak orang, seperti diary-diary yang terkenal di dunia.
5 Manfaat Menulis Diary
Kalau buat saya, diary memberikan banyak manfaat. Berikut 5 manfaat yang utama yang saya rasakan:
#1 Melatih kerja otak dengan tulisan tangan
Ini yang membuat saya lebih memilih diary dalam bentuk buku daripada diary elektronik. Memang buku akan mungkin hilang dan repot dibawa-bawa jika jumlahnya sudah banyak. Tapi saya membutuhkan diary untuk bisa melatih kerja otak saya dengan tulisan tangan.
Menulis tangan itu perlu kesabaran dan konsentrasi. Bagi saya, menulis diary merupakan terapi pengolahan mental, terlepas dari apa yang saya tulis. Terkadang, saya sekedar menulis kata tanpa arti saja, bisa memberikan rasa senang di hati.
#2 Merekam kegiatan harian agar mudah dilacak lagi
Untuk tujuan ini panutan saya adalah jurnalnya Bung Hatta. Masya Allah, dalam buku Trilogi Untukmu Negeriku, saya benar-benar takjub bagaimana Bung Hatta bisa menceritakan hal yang dialaminya pada tahun 30-an.
Ia punya catatan lengkap pergi kemana, makan apa, berapa harga roti yang ia makan, ketemu dengan seseorang pada jam berapa, dan detil lainnya. Lengkap semua! Pasti luar biasa banyaknya diary Bung Hatta untuk bisa merekam detil sebanyak itu.
Saya sekarang masih jauh dari kedetilan Bung Hatta. Saya baru sekedar menulis kegiatan harian, harapan, dan perasaan saja. Suka geli juga ketika melihat mimpi saya dalam 10 tahun terakhir kok ya mentok di situ-situ saja. Nah, kalau ada catatannya, kita jadi tahu kan salahnya dimana.
#3 Belajar berkomunikasi dalam bentuk tulisan
Sebagai penulis wanna be, saya merasa kalau mencurahkan perasaan dalam bentuk kata-kata itu tidak lah mudah.
Ditulis saja sulit, apalagi diomongin langsung kalau buat saya. Memilih kata yang tepat itu perlu keahlian tersendiri. Karena salah-salah, apa yang tertangkap orang lain akan beda dengan yang kita maksudkan.
Menulis diary, membantu saya untuk belajar berkomunikasi dengan orang lain.
#4 Melatih disiplin diri
Eh bener loh, disiplin diri itu bisa dilatih dengan menulis diary. Jadi menulis diary bukan hanya saat perlu curhat saja, tapi dilakukan setiap hari. Nggak perlu lama-lama kok. Cukup sekitar 15 menitan sehari pas bangun tidur atau mau tidur.
Saya selalu perlu ada buku dan pena di samping saya. Siapa tahu ada wangsit atau mimpi lucu yang perlu saya catat. Kadang juga sekedar untuk menulis jurnal syukur atau pengakuan dosa-dosa yang saya lakukan pada hari itu.
#5 Membantu melihat masalah secara jernih
Ini nih yang paling asyik dari menulis diary bagi saya. Saya kalau sedang sangat galau, saya akan mengambil kertas dan menulis corat-coret. Untuk yang seperti ini, terkadang saya tidak menulis dalam buku diary. Cukup di atas kertas yang kemudian bisa segera saya buang agar tidak terbaca oleh orang lain.
Di awal tulisan saya akan menumpahkan semua kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan. Semua dari sudut pandang saya. Setelah itu, perlahan saya seperti bisa menemukan sudut pandang yang berbeda.
Kemarahan saya kemudian bisa sirna dan hati saya jadi lega. Cukup dengan 10 halaman selama beberapa menit. Nggak pakai mahal, nggak pakai buang waktu terlalu lama.
Nggak percaya?
Coba deh menulis cepat untuk mencurahkan isi hati. Nggak perlu lama-lama, cukup 10-15 menit. Jangan pakai berhenti dan mikir ini itu. Gerakkan saja tangan untuk terus menulis.
Bentuk buku diary yang paling saya suka
Saya orangnya suka sekali dengan buku-buku tulis yang cantik-cantik. Pernah punya diary yang ukurannya kecil dengan ring, pernah di kertas lepas seperti loose leaf (karena ingin menulis berdasarkan tema tertentu), pernah menulis di buku ukuran besar, pernah juga pakai jurnal yang berbentuk catatan mingguan.
Ada juga sih diary yang hanya ditulis beberapa lembar pertama. Sisanya kosong. Saya lupa karena punya diary baru atau memang malas saja menulisnya. Suka sedih kalau lihat buku diary seperti ini. Mau dibuang kadang sayang, tapi ditumpuk juga ngabisin tempat.
Sekarang saya lebih memilih menulis di buku tulis biasa yang tidak terlalu tebal dan tidak ber-ring. Buku yang terlalu tebal dan memiliki ring di samping membuat saya sulit menulis.
Saya juga merasa perlu punya diary dengan sampul yang keras (hardcover). Karena saya pernah mengalami sampul diary yang lecek karena ketumpuk barang di dalam tas.
Satu lagi, saya usahakan diary harganya tidak terlalu mahal. Kalau bisa malah semurah mungkin, asal fungsinya terpenuhi.
Kadang buku mahal bikin saya terlalu hati-hati dalam menulis. Menulisnya jadi nggak bebas karena takut bukunya menjadi tidak cakep lagi.
Oh iya, saya juga lebih memilih buku yang bergaris dibanding yang polos. Sebenarnya pengen sih berlatih menulis rapi di atas kertas tidak bergaris. Apalagi kalau ingin menambahkan sedikit ilustrasi.
Cuma sayangnya, tulisan saya kacau banget di atas kertas polos sekarang. Tapi ingat sih sempat punya diary tanpa garis yang tulisannya rapi saat kuliah. Tapi sayang tidak diisi penuh.
Eh boleh nggak kalau diary pribadi dibaca orang lain?
Kalau saya sih sebenarnya boleh aja. Makanya jangan menulis yang terlalu gimana-gimana juga kali.
Kalau saya orangnya terbuka, jadi saya tidak terlalu masalah kalau ada orang iseng yang mau baca diary saya. Cuma kan ya buat apa juga, kurang kerjaan baca diary orang lain yang tulisannya acakadut dan bikin sakit mata. Kaya kita kekurangan bacaan aja. Mending baca sesuatu yang memang benar bermanfaat buat kita.
Bagaimana? Sudah siap mulai menulis diary lagi?
Sumber: art-sheep.com |
#ODOPNovemberChallenge
1285 kata - 3 jam
Posting Komentar untuk "5 Manfaat Menulis Diary yang Saya Rasakan"
Posting Komentar