Mengapa Berita Buruk Terasa Lebih Menarik Daripada Berita Baik?
Saya sih sebenarnya selalu lebih suka baca berita tentang nasib baik orang daripada nasib buruk orang. Nasib baik orang seperti kesuksesan karirnya, keharmonisan keluarganya, atau kekayaannya yang bikin geleng-geleng kepala sering kali bikin betah mata melototin HP atau layar TV.
Tapi nggak bisa dipungkiri juga kalau saya bisa begitu keponya dengan kemalangan orang lain. Misalnya kasus perceraian artis cantik, musibah, kebangkrutan, atau kemalangan orang lain yang menguras air mata.
Seperti semalam, kok ya bisa-bisa sampai tengah malam saya asyik lihat video penggerebekan Vicky ke rumah Angel Lelga. Mending cuma lihat 1 video, lah ini lengkap dengan segala berita terkait yang membahas sejumlah kejanggalan dalam cerita itu. Duh...kok ya bisa-bisanya saya buang waktu untuk berita-berita sampah seperti ini.
Menurut sebuah penelitian ternyata memang media yang headlinenya berita buruk cenderung lebih laku daripada media yang headlinenya berita baik atau netral.
Bisa jadi karena permintaan pasar yang tinggi, jadilah berita buruk lebih banyak beredar daripada berita baik.
Bad news is a good news.
Jadi katanya, otak manusia memang cenderung untuk merespons berita buruk lebih cepat daripada berita baik. Alasannya karena membantu kita untuk lebih awas terhadap keadaan. Efek berita baik dan berita buruk memang berbeda diterima oleh otak kita.
Saat baca bagaimana Nia Ramadhani memiliki 50 pekerja di rumahnya, saya hanya sebatas ternganga dan ngeces pengen bisa seperti itu.
Apakah kita jadi termotivasi menjadi orang yang lebih giat bekerja agar bisa menikmati hidup seperti Nia Ramadhani? Ehm… kayanya tidak terlalu juga.
Seperti saya yang akhirnya malah nyasar browsing ke bagaimana bentuk rumahnya sehingga perlu punya 50 pekerja, emang dia ngapain aja, dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya bisa jadi nyinyir dan ngiri aja.
Saat baca berita buruk, efeknya bisa lebih dahsyat. Ada emosi yang tumpah di sana. Saya pun cari tahu mengapa itu bisa terjadi? Alarm kehati-hatian saya jadi jalan. Berita buruk itu, terkadang bisa jadi pengingat kita untuk tidak melakukan hal yang sama. Sekaligus membuka mata kita bahwa hal-hal yang tidak terbayangkan sebelumnya seperti itu bisa menimpa siapa saja.
Sekarang mereka, besok bisa saya.
Kita butuh berita baik dan berita buruk
Menurut saya sih, kita perlu berita baik dan buruk secara seimbang. Kita perlu berita baik untuk memotivasi diri dan membuka wawasan.
Saya tu paling eneg nonton liputan tentang #horangkaya yang pamer kekayaannya. Itu hatinya dimana bisa tega beli barang mahal dan dipertontonkan ke orang umum secara terbuka. Sementara kita tahu di sekitarnya masih banyak orang yang pusing karena harga telur naik 2000 perak per kilo atau bensin naik 500 rupiah per liter.
Cuma ya walau eneg, ya ditonton juga sampai tamat. Pasti saya adalah salah satu pendukung kenapa tayangan seperti ini terus ada. Karena memang permintaanya banyak!
Bisa jadi orang yang diminta pamer itu sebenarnya tidak mau pamer. Namun mereka diminta meng-endorse sesuatu dalam rangka marketing suatu produk.
Nggak bisa dipungkiri, banyak orang yang benar-benar mampu kok untuk berada di gaya hidup seperti itu. Tanpa korupsi, tanpa nyolong. Kalau saya eneg dan nggak kuat melihatnya, ya jangan ditonton atuh lah…
Tayangan seperti itu mestinya cukup dianggap sebagai pembuka wawasan saja. O...ada ya barang seperti itu.
Tinggal otak kita mikir, perlu tidaknya kita seperti itu. Kalau soal terjebak dengan budaya gengsi atau ikut-ikutan arus, nah itu sih tanggung-jawab masing-masing.
Selain berita baik tentang pameran hasil akhir produk kesuksesan orang lain, yang menarik kita tahu juga adalah proses menuju kesuksesannya.
Bagaimana sih caranya bisa sehebat Jonathan Christie meraih emas dalam sejumlah kejuaraan?
Apa sih yang dilakukan Nadiem Makarim sampai perusahaannya bisa memiliki nilai valuasi 1 Milliar Dollar?
Mengapa buku-bukunya Dee Lestari atau Pidi Baiq bisa laku ratusan ribu eksemplar di toko buku, sementara buku lain ngos-ngosan untuk sekedar menjual 1000 buku?
Kita butuh berita-berita bagus seperti ini agar hidup kita tidak penuh dengan kepesimisan.
Faktanya, saya menemukan tidak ada halangan yang bisa mencegah seseorang meraih apa yang ia harapkan, ketika Tuhan berkehendak.
Anak tukang beca meraih gelar sarjana dengan IPK 3,9? Raeni bisa!
Gelandangan bisa kuliah di universitas papan atas dunia? Justus Uwayesu bisa!
Orang sakit parah masih bisa membantu orang lain? Pak Sutopo Purwo Nugroho bisa!
Penyandang Celebral Palsy membanggakan negara dan meraih bonus milliaran rupiah? Sapto Yugo Purnomo bisa!
Tapi kita juga memerlukan berita-berita buruk!
Berita buruk membantu kita untuk belajar dari kesalahan orang lain. Semoga hal yang sama tidak menimpa kita. Berita buruk juga bisa membantu kita untuk lebih ikhlas dalam menerima apa pun ketentuan dari Yang Di Atas.
“Tidak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa ijin-Nya.”
Jadi sip ya, mari kita nikmati saja berita yang disajikan. Baik itu berita baik atau pun berita buruk. Dua-duanya kita butuhkan untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik.
#ODOPNovemberChallenge
750 kata, 2 jam
Posting Komentar untuk "Mengapa Berita Buruk Terasa Lebih Menarik Daripada Berita Baik?"
Posting Komentar