Tradisi Membuat Kue Ramadhan, Masih Perlukah?
Ketika saya masih sekolah dasar di Dompu, NTB pada pertengahan 80-an, kami sekeluarga memiliki tradisi membuat kue kering untuk lebaran. Kira-kira 10 hari terakhir bulan puasa, si Mama sudah mulai sibuk seharian membuat kue keju, kue putri salju, kue nastar, dan beberapa jenis kue kering lainnya. Saya sebagai anak paling besar selalu dapat tugas membantu ala kadarnya. Walau rasanya lelah banget, tapi saya tidak pernah bisa lupa nikmatnya mencium wangi kue kering yang keluar dari oven.
Namun kini, tradisi membuat kue lebaran menjadi hilang. Banyaknya penjual kue kering sangat membantu para ibu dari kesibukan membuat kue kering untuk lebaran. Cukup dengan 100 - 200 ribu per toples, nggak pake capek, nggak pakai lama, kue-kue kering akan tersaji cantik di meja ruang tamu.
Kalau dilihat harga memang sih harga kue beli itu lumayan mahal. 500 ribu paling kita dapat 5 toples kue cantik untuk pajangan di ruang tamu. Lah kalau anak-anaknya punya hobi makan kue keju 1 toples sendiri ya repot lah.
Tahun ini, entah kenapa saya tiba-tiba kepingin mengenang tradisi buat kue kering lebaran ini. Saya sendiri nggak bisa bikin kue kering. Tapi kok rasanya kepingin anak-anak tahu seperti apa suasana bikin kue lebaran itu. Apalagi anak saya Sasya di usianya yang hampir 8 tahun ini, mulai suka main di dapur. Jadi saya pikir, mungkin ini saat yang tepat untuk mengenalkan Sasya pada tradisi membuat kue lebaran.
Karena saya belum bisa bikin kue lebaran, maka tugas itu saya serahkan ke neneknya alias mama saya. Mumpung si neneknya masih semangat dan segar bugar kalau diminta bantuan memamerkan kemampuannya membuat kue. Bahkan si Hababanya ini (begitu anak-anak memanggil neneknya) sudah siap dengan membuatkan celemek cantik untuk cucu-cucunya.
Sssttt... kadang memang membuat para kakek-nenek merasa berarti itu membahagiakan mereka loh...
Alhasil, selama 2 hari terakhir, kami mengenang kembali tradisi buat kue lebaran sekeluarga.
Rencananya kami akan membuat kue Nastar, Keju, dan 1 jenis kue kering lain yang gampang. Modal bahan kuenya kata Mama yang belanja ke pasar sekitar 600 - 700 ribuan lah.
Hari pertama kami membuat kue nastar. Sebenarnya saya itu sukanya kue keju saja. Tapi beberapa tahun terakhir ini saya jadi suka kue nastar yang ada rasa nenasnya itu. Rasanya saya selalu tidak puas makan kue nastar. Antara rasanya yang tidak sesempurna resepnya si mama, dan kurang banyak. Jadi tahun ini pengennya buat nastar ala si mama.
Ternyata buat nastar itu Masya Allah lamanya. Dan nggak asyiknya, anak-anak tidak terlalu bisa bantu. Untuk membuat nastar itu perlu tangan yang agak luwes untuk menggepengkan adonan, memasukkan nenas ke tengahnya, dan menggulungnya menjadi bentuk bola yang cantik. Sebagai finishing diberikan pulasan telur dan batang cengkeh untuk pemanis. Dari pagi sampai sore jadinya hanya 2 loyang besar. Wow banget lah.
Pejuang nastar! |
Dengan tahu perjuangannya membuat nastar, Insya Allah saya akan makan nastar dengan lebih khusyu. Tidak lagi terlalu kalap makan sendirian setoples dalam waktu singkat. Belum lama ini kami baru dapat parcel kue nastar 1 toples. Beneran euy, buat saya toples 300 gram-an itu ukurannya terlalu kecil. Karena saya bisa menghabiskan isinya hanya dengan 2 kali makan, saat buka dan saur. Alhamdullillah anak-anak dan suami nggak ada yang suka nastar, jadi semua jatahnya untuk mamanya yang kerempeng ini.
Tapi memang ya kue kering itu benar-benar tidak imbang. Buatnya susah, harganya mahal, tapi makannya kok ya cepat banget. Pantesan kita hanya menemukannya satu kali setahun saja. Bukan apa-apa, tekor bandar kalau terlalu sering-sering.
Selain kue nastar, di hari pertama kami juga membuat kue keju. Kue keju ini tidaklah sesulit kue nastar. Adonannya tinggal dipilin memanjang dan dipotong-potong saja. Jadi buatnya lebih cepat. Kue keju juga kayanya susah dibantu anak-anak, karena butuh kerapian dalam memotong adonannya.
Akhirnya hanya saya, mama dan papa yang kerja keras membantu membuat kue ini. Saya bantu membentuk kuenya, papa memulas kuning telur, dan mama seksi sibuk menjaga oven dan segalanya. Jam 9 malam saya sudah terkapar kecapean. Mama masih lanjut untuk membakar dan memasukkan kue yang matang terakhir ke dalam toples.
Senangnya, hari ini kami banyak ngobrol bertiga. Mengenang masa-masa dulu kami buat kue seperti ini.
Aku mau bantu Hababa... |
Di hari kedua, ternyata anak-anak mau diajak membuat kue. Mama saya memilih membuat kue cetakan yang lebih mudah. Sasya menyebutkan kue Kacang Bulan. Bisa-bisanya si Sasya aja lah. Lupa saya aslinya nama resepnya apa.
Nah kue yang ini memang asyik buat anak-anak. Anak-anak bisa membantu me-roll adonan supaya rata, mencetaknya, menambahkan kacang almond, dan memulas kuning telur. Dengan bantuan 2 gadis kecil, pekerjaan membuat kue bisa cepat selesai.
Hore, Sasya bisa buat kue sendiri... |
Tapi namanya juga anak-anak, ada batas bosan dan capeknya. Setelah sekitar 2-3 jam mereka menyerah dan memilih main. Ya udah saya dan adik saya Sandra, yang melanjutkan untuk menghabiskan sisa adonan. Sambil tangan kerja, kami pun asyik bergosip berdua. Dan tidak terasa, pekerjaan beres semua hingga keping kue terakhir.
Papin tengah supervisi hasil kerja 2 cucu cantiknya. |
Paling senang setelah melihat hasilnya yang bertoples-toples. Sasya pun keidean untuk membuatnya dalam kantung-kantung kecil untuk dibagi ke teman-temannya sebagai parcel. Setiba di rumah, ia pun berkeliling kompleks dan membaginya ke teman-temannya. Bahkan Pak Satpam yang tidak ada jatahnya pun kebagian. Ah Sasya memang sweet banget…
Jadi apakah tradisi membuat kue lebaran itu masih perlu dengan mudahnya mendapatkan kue-kue yang bisa dibeli?
Menurut saya masih perlu jika memang niatnya untuk menjalin kebersamaan dan komunikasi. Bukan sekedar pengadaan kue lebaran saja. Ini bisa jadi salah satu proyek keluarga yang seru. Jadi kalau yang buat kuenya cuma si mamanya saja dan tidak ada anggota keluarga yang antusias membantu dengan senang hati, ya lebih baik tidak usah. Tapi kalau banyak yang suka memasak dan mau membantu, acara membuat kue lebaran bisa jadi ajang yang sangat baik untuk bisa ngobrol-ngalor-ngidul seharian. Apalagi jika melihat hasilnya bertoples-toples kue kering hanya dengan modal setengah dari harga beli kue jadi.
Hasil perjuangan selama 2 hari. |
Kalau teman-teman sendiri bagaimana? Punya tradisi buat kue lebaran?
Kalau beli jadi, dengan harga modal bahan yang sama, kira-kira cuma dapat segini. |
1 komentar untuk "Tradisi Membuat Kue Ramadhan, Masih Perlukah?"