Mengapa Saya Suka Buku Berjalan Jauh-nya Fauzan Mukrim
Buku ini mendapat kehormatan menjadi buku pertama yang saya review di blog baru www.ulasanbuku.ceritashanty.com. Ceritanya akhirnya saya nurut dengan wejangan para blogger senior yang menyarankan untuk memiliki blog ber-niche tertentu.
Berhubung yang saya suka adalah buku, maka saya memilih punya blog review buku saja. Sekaligus ingin membandingkan bagaimana perkembangan blog ber-niche khusus buku dengan blog yang lifestyle di www.ceritashanty.com.
Tunggu review buku non-fiksi di blog ini setiap Senin dan review buku fiksi setiap Kamis ya. Plus bonus review tentang film yang merupakan adaptasi novel setiap hari Sabtu.
Sudah cukup lah intronya 87 kata saja. Ntar pada keburu bosan. Eits jangan pada pergi dulu ya. Mari kita bahas mengenai buku Berjalan Jauh ini. Saya menerima buku ini dari blogger cantik di negeri seberang, Jihan Davincka. Entah kenapa - diluar dari tergoda dapat buku gratisan, saya kepengen membaca buku yang diiklan Jihan di statusnya. Kesan pertama buku ini sepertinya unik, dan saya percaya juga lah seleranya Jihan.
Ketika bukunya tiba, ternyata saya hanya memerlukan waktu 1 hari untuk membacanya. Tepatnya malah 3 jam lebih sedikit, sambil menemani Papa yang sedang operasi katarak di Klinik Mata. Buku ini berisi 51 esai pendek. Sebenarnya di daftar isinya nggak ada nomornya berapa cerita, jadi saya manual menghitung dulu satu-satu buku setebal 244 halaman ini.
Fauzan Mukrim menuliskan esai ini sebagai sebuah dialog untuk anaknya yang bernama River. Sssttt adiknya River namanya Rain, kalau kamu kepo. Unik ya.
Sekilas saya jadi ingat Sabtu Bersama Bapak-nya Adhitya Mulya. Seperti Gunawan Garnida yang membuat video untuk ditonton anaknya Satya dan Cakra setiap hari Sabtu. Bisa jadi Fauzan Mukrim terinspirasi dari situ, dengan membuat tulisan untuk anaknya. Tapi dalam kata pengantarnya, ayah kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan tahun 1978 ini, mengaku telah menulis untuk sang anak sejak 8 tahun lalu. Sejak sang anak masih dalam kandungan ibunya. Jadi mestinya jauh sebelum buku Sabtu Bersama Bapak yang terbit tahun 2014.
Ada yang kepikiran menulis untuk anak tercinta? Kita kan tidak bisa jamin, umur kita bakal panjang untuk menemani mereka… *seka tissu dulu.
Sejujurnya, awal-awalnya saya kurang tertarik dengan kisah-kisah kebijaksanaan yang diceritakan dalam buku ini. Biasanya kan buku-buku tentang kisah kebijaksanaan itu kesannya menggurui, membuat kita merasa berdosa, too good too be true, dan membosankan.
Eh tapi bukunya Ayah Fauzan Mukrim ini sukses membuat saya tidak bisa berhenti baca sampai akhir. Saat buku ditutup 3 jam kemudian, itu post it hampir habis untuk saya menandai bagian yang penting. Saya bahkan tidak mau melompati satu cerita pun, karena khawatir ada bagian bagus yan terlewat.
Keren lah si ayah Fauzan ini.
Cerita dalam buku ini sebenarnya ringan-ringan saja. Hanyalah pengalaman sehari-hari yang seorang ayah yang kebetulan bekerja sebagai Video Jurnalist di Trans TV, Produser di Detik TV, dan Row Editor di CNN Indonesia TV. Kalau kepo berlanjut, silakan langsung membaca tulisan beliau di blognya www.riverpost.id.
Apa sih kisah yang menarik dalam Buku Berjalan Jauh?
Ini benar-benar buku, yang ngabisin post it. Saran saya, kalau beli buku ini, dan kamu pelit post it, mending pakai sistem digarisin pinsil atau distabiloin aja ya. Karena kalau buat saya, cukup banyak bagian manis yang menariknya untuk ditandai.Contohnya dalam tulisan Malaikat yang Terinjak Sayapnya di halaman 9. Fauzan menyampaikan tentang istilah Makasar, pattola palallo. Maknanya bahwa anak diharapkan menjadi lebih baik daripada orang tuanya. Kalau orang tuanya peringkat ke-39, diharapkan anaknya peringkat ke-38 atau ke-37. Jadi bersyukurlah kalau standar orang tuanya nggak tinggi-tinggi amat ya.
Tapi dibalik itu, Fauzan juga menyampaikan kalau sebenarnya tidak mungkin anak lebih tinggi kehebatannya dari orang tuanya.
“Seorang anak boleh saja menjadi lebih jago dari orang tuanya, tetapi tak sedikit pun dia boleh merasa lebih jago. Karena kadar kejagoan sang orang tua akan terus terakumulasi oleh kejagoan sang anak. Ketika sang anak mendapat peringkat ke-30, misalnya, sang ayah yang mendapat peringkat ke-39 serta merta tetap lebih hebat karena bisa membesarkan anak yang mendapatkan peringkat tersebut.”
Ada juga kisah yang akhirnya saya bahas sama Papa saya sekeluar dari ruang operasi mata. Anak macam apa saya ini, bukannya menanyakan keadaan si Papa, malah saya ceritakan mengenai salah satu cerita tentang Dua Ayah yang Tidak Mengobrol Bola (halaman 89). Ini tentang teman penulis yang merasa tidak punya kebanggaan kepada ayahnya.
“Gue nggak punya kebanggaan apa-apa sama Bapak. Ibu sudah nggak ada. Kalau sekiranya boleh milih, gue mau Bapak saja yang mati duluan.” (halaman 90)
Jadi ceritanya ini adalah bapak yang kasar dan suka memukul anaknya. Tidak ada satupun anaknya yang betah dekat-dekat dengan bapak ini. Yang menarik adalah pendapat bahwa ini adalah bapak yang baik. Loh kok bisa?
“Tak banyak orang tua yang berani menempuh jalan yang ditempuh bapak itu, Bro. Aku dan kau pun, yakin, tak akan mau mengambil peran seperti itu. Dia mengambil risiko terbesar sebagai seorang ayah. Dia berani tidak populer. Dia membiarkan dirinya dimusuhi habis-habisan oleh anak-anaknya demi satu pelajaran berharga. Pelajaran mahal yang tak akan kau lupakan.
Pernahkah terpikir olehmu, bahwa ia melakukan ini untuk melatih jiwamu. Dia mengajarimu bergerak berlawanan arah. Apa yang telah kau alami itu membuatmu menyayangi anak-anak dengan kadar yang luar biasa, karena kau tahu betapa tidak nyamannya menjadi anak yang tersakiti. Kau menyayangi anak-anakmu, kan?”
Dia mengangguk. “Sangat...,” katanya.
“Berarti dia berhasil. Dia ayah yang baik,” tukasku. (halaman 93)
Dari kisah ini saya jadi belajar, bahwa tidak ada itu orang tua yang tidak baik. Tidak heran kalau Quran meletakkan pentingnya menghormati orang tua di atas segalanya. Orang tua adalah orang tua yang baik, ketika anaknya menjadi lebih baik daripada dirinya.
“Setuju Pa?” tanya saya. Papa saya hanya mangut-mangut saja mendengar penjelasan saya sambil menunggu obat di apotik.
Ada juga penggal lain yang menarik perhatian saya. Mengenai kesedihan seorang ayah dalam esai Kau Tak Akan Pernah Tahu.
“Kata film Korea, kau tak akan pernah tahu kesedihan seorang ayah, karena air matanya hanya akan menetes di gelas kopinya.” (halaman 221)
Duh….puk puk puk buat Papa yang baru keluar dari ruang operasi….
Tentang Ibu
Selain tentang Ayah, Fauzan juga menyelipkan pesan-pesan kepada anaknya tentang Ibu.Dari sebuah khotbah Jumat, Ust. Othman Omar Shihab, Fauzan mencatatkan hal ini untuk anaknya:
“Sayangi ibumu selalu. Untukmu, dia telah menyediakan dua tempat terbaik. Sembilan bulan dalam perutnya dan seumur hidup dalam doanya.” (halaman 115)
Saya juga jadi mengenal istilah Empty-Nest Syndrome yang dikisahkan penulis dalam esai Seorang Emak yang Bosan. Ini mengacu pada sindrom seorang ibu yang merasa dirinya tidak dibutuhkan lagi saat anak-anaknya beranjak dewasa. Kalau anak peka, cobalah untuk meminta tolong ke ibunya untuk dibuatkan sesuatu. Sekedar agar si ibu merasa dirinya masih dibutuhkan.
Ini menarik juga ya. Terkadang sebagai anak kita tidak ingin mengganggu orang tua dan menunjukkan bahwa kita bisa mandiri.
Namun di sisi lain ada orang tua yang masih ingin merasa dibutuhkan dengan keterbatasan yang mereka miliki. Ada juga yang sebaliknya. Jadi ingat kisah anak-anak artis yang ketangkap tengah pesta narkoba. Orang tua ingin anaknya mandiri, namun anaknya yang sudah dewasa terus saja menggelayoti orang tuanya.
Repot juga melihat batasnya. Mungkin kita hanya bisa berdoa semoga menjadi anak yang selalu bisa membahagiakan orang tuanya. Amin.
Kisah unik lain yang perlu saya angkat dalam review kali ini adalah bagaimana Fauzan menjelaskan mengenai Passion untuk anaknya. Mungkin teman-teman banyak yang penasaran soal passion yang didewa-dewakan banyak orang ini.
Bekerjalah sesuai passion. Jika bekerja sesuai passion, kau tidak akan merasa bekerja seumur hidupmu.
Kenyataannya tidak semua orang beruntung mendapat kesempatan mengerjakan hobi yang dibayar. Fauzan mendapat pencerahan setelah ia ngobrol dengan seorang mbak cleaning service yang akan pindah dari kantornya.
“Bagi si Mbak, konsep passion, 4E (Enjoy, Easy, Excellent, Earn), atau Myerss Bryggs Type Indicator, mungkin adalah sesuatu yang mengawang-awang. Tentu membersihkan sisa air kencing orang lain tak bisa disebut sebagai passion. Namun, aku percaya, di mana pun nanti bertugas, dia pasti akan menemukan panggilan jiwanya, seperti yang sudah-sudah.
Berkotor-kotor berkeringan untuk memenuhi piring nasi orang yang dicintai dengan makanan yang halal, adalah sebener-benarnya panggilan jiwa.” (halaman 232)
You really got the point!
Inspirasi Fauzan Mukrim dalam menulis kisah-kisah ini sangat beragam. Bisa dari fragmen yang dilihatnya di jalan, binatang, obrolan ringan dengan teman, atau hal remeh temeh lainnya. Ia mencoba menanamkan nilai mengenai kehidupan, spiritual, cinta, keadilan, dari hal-hal sederhana ini untuk si anak. Tapi saya belum kebayang juga, umur berapa si anak bisa mencerna wejangan seperti ini.
Dan bisa jadi ini wejangan bentuknya sangat lah personal. Dari seorang ayah untuk anaknya. Nggak bisa lantas kita mencopy-nya dan menyampaikannya ke anak kita. Karena pasti ada karakter yang khas dari setiap anak dan orang tua.
Menurut saya buku ini cukup menarik buat jadi inspirasi bagi setiap orang. Wajar kalau cerita yang sebelumnya di post di blog ini, akhirnya dibukukan menjadi sebuah buku yang menarik. Tertarik untuk melakukan hal yang sama untuk anak-anak?
Posting Komentar untuk "Mengapa Saya Suka Buku Berjalan Jauh-nya Fauzan Mukrim"
Posting Komentar