Review Film Florence Foster Jenkins, Kisah Sosialita yang Hidup dalam Kebohongan
Sumber: IMDb |
Apakah teman-teman lebih memilih melihat dunia yang terlihat indah walau penuh kebohongan, atau berani menerima kejujuran yang menyakitkan? Banyak kenyataan yang menolak kita akui, padahal bisa jadi tanda-tandanya bisa kita rasakan. Kita memilih untuk hidup dalam kebohongan yang melenakan. Bahkan orang-orang di sekitar turut mendukung itu semua dengan alasan mencintai dan tidak ingin membuat kita terluka.
Florence Foster Jenkins adalah seorang sosialite New York yang hidup dalam kebohongan. Wanita kelahiran tahun 1868 ini, pada usianya ke-76 tahun begitu percaya diri menganggap dirinya seorang penyanyi hebat. Ia bahkan menyewa Carnegie Hall dan mengundang 1000 tentara pada 25 Oktober 1944. Padahal sejujurnya, ia adalah penyanyi opera yang sangat buruk. Sulit bagi orang untuk tidak tertawa mendengarnya bernyanyi. Ia bahkan disebut sebagai “The world’s worst opera singer.”
Bagaimana ia bisa hidup dalam kebohongan yang luar biasa seperti itu?
Kisah hidup Madame Florence memang unik. Wajar kalau diangkat ke layar kaca untuk menjadi pelajaran bagi kita semua. Madame Florence terlahir sebagai anak orang kaya yang sebenarnya berbakat jadi pianis. Namun karena cedera, karirnya sebagai pianis tidak bisa berlanjut. Setelah menikah dengan Dr. Frank Thorton Jenkins tahun 1885, Madame Florence tertular penyakit Syphilis dari suaminya ini. Ia akhirnya memilih berpisah dan harus menjalani pengobatan yang serius.
Di tahun 1909 ia bertemu dengan seorang aktor Inggris, St.Clair Bayfield yang usianya 7 tahun lebih muda. Mereka dikenal sebagai sepasang suami istri walau tidak tinggal bersama. Madame Florence tinggal di sebuah rumah mewah, sementara Bayfield tinggal di sebuah apartemen bersama wanita simpanannya. Madame Florence tidak masalah dengan ini karena ia memang tidak mau menulari suaminya dengan Syphilis.
Eits jangan langsung sebel sama si Bayfield ini ya. Dia serius loh sangat mencintai istrinya. Bayfield akan menunggui istrinya hingga tertidur sebelum pulang ke apartemennya sendiri. Ia juga sangat mendukung kecintaan Florence terhadap musik. Musik adalah obat yang sangat mujarab untuk mengobati sakit Syphilis parah yang dialami Florence. Dokter saja heran melihat bagaimana Florence masih bisa bertahan hingga usia 76 tahun dengan penyakit seperti itu.
Doctor: "Her condition is improving. What is her secret?"
St. Clair Bayfield: "Music, she lives for music."
Bayfield berusaha memberikan panggung untuk Florence mewujudkan impiannya. Mulai dari membayar seorang pelatih vokal terkenal - Carlo Edwards - dan mengaudisi seorang pianis - Cosme McMoon, untuk mendukung karir istrinya. Walau Carlo Edwards mewanti-wanti Bayfields agar merahasiakan statusnya sebagai pelatih vokal Florence. Ternyata dia malu juga kalau ketahuan jadi pelatih vokal Madame Florence.
Di depan Florence, mereka semua memuji Florence setinggi langit. McMoon saat pertama kali mendengar suara Florence sangat heran dengan kejelekan suara Florence, dan sempat mengingatkan Bayfield untuk menunda melaksanakan konser.
"And you think I'm not aware of that? For 25 years I've kept the mockers and scoffer at bay.
I'm very well aware of what they might do, but Florence has been my life. I love her, and I think you love her too. Singing at Carnegie Hall is her dream and I'm going to give to her.
The only question now is whether you will stand by your patron and friend in her hour of need, or whether you will focus on your ambition?"
- St. Clair Bayfield kepada Cosme McMoon yang ragu untuk mendampingi Florence karena khawatir karirnya akan tercoreng.
Konser tetap dilaksanakan dengan undangan yang dibuat terbatas dan diberi uang agar mau mengapresiasi kemampuan bernyanyi sang sosialite. Benar saja, tepukan tangan dan pujian membanjir untuk Madame Florence. Hanya satu dua yang tidak sanggup menahan tawa hingga terguling-guling melihat buruknya suara Madame Florence bernyanyi.
McMoon yang awalnya miris dengan kebohongan yang didapat bosnya, akhirnya mulai bersimpati dan menjadi bersahabat. Mereka menggubah lagu bersama yang kemudian diperdengarkan di radio. Banyak orang mengapresiasi lagu itu karena menganggapnya sebagai sebuah komedi. Itu yang menyebabkan Madame Florence mengambil keputusan yang berani untuk menyewa Carnegie Hall yang kapasitasnya mencapai 3000 orang. Ia bahkan menyebarkan 1000 undangan gratis untuk para tentara. Kebayang dong kalang kabutnya Bayfield yang ketakutan kalau istrinya tidak sanggup menerima kenyataan. Tidak mungkin lah ia harus menyuap ribuan orang untuk memberikan standing ovation.
Alhasil konser berlangsung meriah dan dihadiri oleh sejumlah orang terkenal dan kolumnis dari sejumlah koran. Beberapa koran kecil yang bisa dibayar, tentu saja memberikan komentar positif. Namun koran sekelas New York Post tentu saja tidak bisa berbohong dengan menyebutkan betapa buruknya suara Madame Florence. Apa yang dilakukan Bayfield? Ia membeli semua koran dan membuangnya agar tidak sampai terbaca oleh istrinya.
Tapi sepintar-pintarnya usaha Bayfield, Madame Florence akhirnya membaca ulasan tersebut. Dan benar saja ia sangat kaget. Seminggu setelah konser, Madame Florence terserang penyakit jantung dan meninggal 1 bulan setelahnya.
Benar-benar perjalanan hidup seorang manusia yang wow banget kan? Film ini memenangkan banyak penghargaan bergengsi seperti Academy Award, Golden Globe Award, dan Bafta Award. Dengan biaya produksi US$29 juta, film ini mampu meraup box office US$44.3 juta.
Pelajaran dari film Florence Foster Jenkins
Sumber foto: IMDb |
Setelah menonton film sepanjang 110 menit ini, ada sejumlah pelajaran yang bisa saya ambil. Pertama, belajarlah untuk menerima kenyataan seberapa buruknya itu. Jangan manja dan menuntut semuanya menyenangkan hati. Kadang orang-orang di sekitar kita lebih memilih membohongi kita biar urusan cepat beres. Asal Bapak Mama Senang. Anak-anak bisa saja kita omelin kalau makanannya tidak habis. Suatu saat, bukan tidak mungkin mereka lebih memilih membuang makanannya daripada diomelin Mama. Ada juga kasus suami yang memilih membohongi istrinya karena banyak hal. Ada waktunya kita perlu berdamai dengan ketidaknyamanan yang terjadi di sekeliling kita.
Kedua adalah betapa rasa bahagia itu adalah obat mengatasi rasa sakit yang sangat manjur. Hanya karena bahagia, Madame Florence mampu bertahan dari penyakit Syphilisnya hingga usia 76 tahun. Jadi jangan lupa untuk menikmati hidup dengan bersyukur dan berbahagia. Tentunya tidak dalam kebohongan ya.
Ketiga adalah kalau pun ada yang memuji-muji kita, jangan mudah percaya. Bisa jadi mereka hanya menyenangkan dan membesarkan hati kita. Perkenalkanlah karya kita ke khalayak yang lebih luas untuk mendapatkan penilaian yang lebih jujur. Banyak penulis yang bahagia dengan satu dua pujian, sehingga begitu percaya diri memasarkan produknya dengan lebih luas. Di sana baru mereka menghadapi kenyataan yang menyakitkan betapa buku mereka tidak laku di pasaran. Sebenarnya orang lain tahu, tapi tidak tega ngomongnya. Tidak semua orang siap loh dengan kritikan dan masukan orang lain. Itu sebabnya kita perlu bijak menghadapi kritikan. Tidak untuk selalu diikuti, tapi sekedar masukan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan saja. Selera orang kan beda-beda.
Dan pelajaran terakhir yang menurut saya sangat penting adalah betapa kita perlu mencoba apa yang kita sukai. Seperti kata Madame Forence: “Biar orang bilang saya tidak bisa nyanyi, tapi tidak ada yang bilang saya tidak pernah bernyanyi.” Saya juga bisa bilang: “Biar kata tulisan saya berantakan dan tidak ada yang mengapresiasi, biarlah saya terus menulis dan bersenang-senang.” Jangan sampai tanggapan orang lain menghalangi kita untuk bisa bahagia dan menikmati apa yang kita kerjakan.
Data Film Florence Foster Jenkins
sumber: amazon |
Judul Film: Florence Foster Jenkins
Genre: Biografi
Pemeran: Meryl Streep, Hugh Grant, Simon Helberg
Sutradara: Stephen Frears
Penulis Skenario: Nicholas Martin
Tahun: April 2016
Biaya produksi/Pendapatan: US$29 juta/US$44.3 juta
Rating IMDb - Rotten Tomatoes - Cerita Shanty: 6,9/10 - 88% - 8/10
Bacaan Referensi:
14 komentar untuk "Review Film Florence Foster Jenkins, Kisah Sosialita yang Hidup dalam Kebohongan"