Mengapa Saya Memilih Masak Sendiri dibanding Membeli Jadi?
Sebenarnya urusan masak memasak bukanlah hal yang terlalu saya sukai. Cuma namanya juga ibu yang sudah dianugrahi dapur cantik dan keluarga yang perlu diberi makan, urusan masak untuk menyediakan makanan 3 kali sehari adalah kewajiban yang haram ditinggalkan. Entah karena merasa ini kewajiban, saya bawaannya berat aja kalau disuruh masak. Maunya sih ada yang selalu memasakkan.
Mengapa saya tidak suka masak?
Ketika saya masih sendiri, kami selalu punya Mama atau Asisten Rumah Tangga (ART) yang akan memasakkan masakan enak. Saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang berbau dapur karena merasa terlalu bodoh soal ini. Saya sering dimarahin karena tidak bisa hal remeh-temeh di dapur. Efeknya, saya menjauhi dapur sebisa mungkin. Daripada diomelin atau dibahas masalah kebodohan mengenai cara mengaduk atau mengulek, kayanya lebih aman kalau saya memilih baca buku di kamar. Begitu pula saat kuliah dan harus kos. Urusan makanan tinggal beli di warung. Nggak ada cerita harus masak segala.
Hukumannya terasa ketika saya sudah menikah. Keluarga kan harus makan. Siapa yang harus menyiapkan? Masa masih harus tergantung dengan ART atau beli di warung? Nggak selamanya uang di dompet bisa cukup untuk bisa membeli makanan yang kita sukai. Lagian apa gunanya punya panci canggih kalau tidak untuk dipakai?
Ketika anak-anak masih kecil, kami memang memiliki ART harian untuk sekedar urusan masak dan menyetrika. Saya sih selalu bertekad untuk berusaha bisa masak sendiri untuk keluarga. Jadi si Bibi cuma sekedar membantu menyiapkan bahannya saja. Cuma kejadiannya saya malas dan banyak alasan. Dan akhirnya: “Bi, sekalian aja ya masakin…” Begitulah yang terjadi dari hari ke hari. Hingga suatu saat, si Bibi tidak lagi bersama kami karena sakit. Nah baru deh saya jadi benar-benar kebingungan.
Kan gampang tinggal cari ART yang lain?
Ternyata tidak mudah juga mendapatkan orang yang cocok plus bisa masak dengan selera lidah kita. Ditambah saya juga mulai memiliki kesadaran bahwa tidaklah sehat bergantung dengan ART. Sebagai orang yang hampir selalu hidup dengan ART, saya merasa tumbuh menjadi orang yang manja dan kurang bisa mandiri. Dan saya nggak mau anak-anak saya seperti itu. Saya terus terang kagum sama teman-teman yang bisa hidup tanpa ART dan mulai belajar dari mereka.
Kalau sekedar urusan diri sendiri seperti makan, pakaian dan kebersihan rumah, semestinya bisa ditangani bersama oleh seluruh anggota keluarga tanpa bantuan orang lain.
Mengapa saya merasa harus masak sendiri?
Jadi mulailah beberapa tahun terakhir ini saya memiliki kewajiban memasak. Masih dengan berat hati, tapi merasa ini tetap harus dikerjakan. Karena saya ingin memberi contoh untuk anak-anak. Jangan sampai anak-anak saat berkeluarga nanti jadi merasa beban ketika berurusan dengan dapur.
Kenapa tidak beli saja?
Sebenarnya kalau ada opsi itu, saya akan sangat tergoda sekali memilihnya. Tapi sayang, opsi itu tidak terlalu memungkinkan karena selain mahal, tidak ada selera yang benar-benar cocok untuk tempat makan di sekitar rumah. Paling mentok, sekali-sekali kami beli makan di warung padang. Kalau sering-sering ya bosen juga kan.
Sasya sedang mencoba resep yang dibacanya dari Bobo. Asli enak! |
Anak-anak dan suami juga ternyata nggak terlalu suka makanan di luar rumah. Masakan Mama yang seadanya tetap jadi andalan. Setelah belajar bertahun-tahun kemampuan memasak saya tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Ilmu memasaknya sebatas sayur bening, goreng tahu-tempe, rebusan lalaban, tumisan, sup, soto atau masakan dengan bumbu instan yang ada.
Anak-anak lebih memilih masakan si Mama daripada harus beli makanan dari luar. So sweet ya mereka… Padahal sebenarnya Mamanya terkadang lebih suka kalau sesekali lepas dari kewajiban memasak rutin. Anak-anak saya secara tegas menolak catering sekolah dan memilih masakan hangat yang diantar Mamanya setiap jam makan siang. Terkadang karena sibuk dan tidak sempat masak, saya membelikan makanan di sekitar sekolah. Tapi biasanya mereka akan protes dan tetap meminta saya menyiapkan makanan seadanya saja. Kayanya nggak ada masakan yang lebih cocok selera daripada masakan Mama. Tersanjung nggak sih…
Saya juga berusaha untuk mendukung anak-anak untuk suka dengan dapur dan berani mencoba memasak. Walau dapur jadi berantakan, masakannya tidak enak, atau bahan makanan yang terbuang. Sekarang anak-anak sudah bisa menyiapkan makanan sendiri saat lapar. Sekedar buat telur ceplok, mie instan, ayam krispi, nasi goreng, puding, roti bakar, buat jus, mereka sudah cukup jago. Raka bahkan bisa belajar cara membuat sate ayam dari game nasi goreng yang ia mainkan.
Waktunya bikin nasi goreng sebelum berangkat sekolah. Si Mama masih sibuk dengan tulisannya. |
Paling nikmat ketika anak-anak bisa diminta untuk “Tolong buatin untuk Mama sekalian ya….” Asli menolong banget ini anak-anak. Si Mama jadi bisa kipas-kipas. Raka sudah bisa masak sejak umur 8 tahunan. Sasya di umur 7 tahun juga sudah bisa, tapi dia belum bisa menyalakan kompor sendiri.
Jadi walau sesekali tetap membeli makanan di luar, saya memilih masuk Tim Bubur diaduk Masak Sendiri dengan alasan:
- Melatih anak-anak untuk bisa mandiri dalam mengurus makannya sendiri
- Bagian dari melatih keterampilan anak
- Berhemat
- Ingin belajar memasak yang sehat, mudah, dan murah
- Menjamin pengolahan makanan yang lebih sehat
- Selera andalan keluarga tetap masakan rumah yang seadanya.
Ini pilihan saya. Bagaimana dengan teman-teman yang lain? Masuk tim masak sendiri atau beli jadi?
***
Tulisan ini dibuat untuk menanggapi tulisan Mak Dyah Prameswarie Dydie The Kitche Hero di website KEB berjudul Beli Jadi atau Masak Sendiri?
3 komentar untuk "Mengapa Saya Memilih Masak Sendiri dibanding Membeli Jadi?"
Soal masak memasak aku harus banyak belajar sama ibu-ibu diuar sana yang bisa survive meskipun masak itu kadang merepotkan. Thanks for sharing mak shanty, aku juga mau someday anak-anakku lebih memilih masakan emaknya daripada jajan di luar.
anak2 udah gedee ��